Tukang Bubur dan Rasa Syukur

Sebenarnya rasa buburnya biasa, tapi yang jualan keren banget. Dalam arti walau sudah tua, beliau tetap semangat berjualan disaat pandemi seperti ini. Sesekali saya juga membelinya untuk sarapan pagi.

Ya, tukang bubur ini adalah yang sering keliling di komplek perumahan tempat saya tinggal. Setiap pagi berkeliling tanpa lelah. 

Serius, dulu sebelum pandemi saja, bapak penjual bubur ini sering berkeliling komplek sampai sore. Pokoknya kalau belum habis, terus berkeliling, sepertinya pantang pulang. Bagaimana dengan kalian para pencari nafkah?

Nah sekarang, disaat pandemi saja, bapak penjual bubur ini masih tetap semangat berjualan. Saya kadang malu dengan diri saya sendiri yang notabene sebagai pegawai plat merah masih suka mengeluh. Kadang melihat bapak penjual bubur ini, saya jadi bersyukur. 

bubur

Memang benar, agar bisa bersyukur total kita harus melihat orang lain yang masih mencari kerja, sementara saya yang sudah kerja masih saja mengeluh. Itulah kenapa saya mencatat tulisan pribadi perlunya manajemen mengeluh. 

Menyoal bersyukur, saya juga pernah menulis tentang mereka-mereka yang bekerja penuh resiko. Itu pun kejadiannya di kantor sendiri, tapi ya itulah manusia, sering kali lupa kalau tidak diperlihatkan lagi. 

Itulah alasan saya menulis diblog ini terkait mereka-mereka yang telah menyadarkan saya. Syukur tanpa batas. Kata yang mudah diucap, tapi sulit untuk dipraktikan. Bagaimana dengan kawan-kawan? Apa cerita hari ini?

Komentar