Gowes Anjatan - Widasari

(Sekedar senam otak untuk menulis, ditengah gempuran AI yang serba instan). 

Namanya Wa Sudin. Walau usia tua renta, tapi jangan dikira hanya diam duduk manis. Beliau adalah seseorang yang aktif bergerak.

Beliau adalah legenda Wong Limpas yang akan selalu dikenang oleh para generasi penerusnya. 

Rasa-rasanya tidak mungkin satu Desa Limpas tidak mendengar legenda Wa Sudin. 

Memang, ada apa dengan beliau? 

Sebelum gaya hidup yang sekarang booming digembar-gemborkan oleh marketing sepeda bahwa "gowes itu sehat," maka Wa Sudin sudah melakukan itu. Sudah melakukan sejak dulu kala.

Bayangkan, beliau gowes dari Anjatan sampai Widasari. Jarak sekitar 50km-an. Saya tidak tahu persis umur beliau berapa saat itu, tapi saya bisa menebak dengan giginya yang habis, diperkirakan sekitar 70 tahun-an. Mungkin, teman-teman sebayanya, dengan umur segitu, gowes sejauh 50km sudah tidak mampu lagi, tapi bagi Wa Sudin itu suatu hal yang biasa. 

Wa Sudin gowes rutin setiap tahun mengunjungi keluarga Babeh Tasyana yang ada di Ujung Jaya. Saya menjadi bagian saksi hidup ketika beliau rutin datang.

Sembari membawa berbagai sembako karena beliau, konon katanya bekerja di toko sembako dengan upah seikhlasnya. Bahkan, sering kali dibayar dengan sembako juga. Babeh dan emak sering kali dikasih sembako dari Wa Sudin ini. Mulai dari gula, teh, kopi, tepung, dan masih banyak lainnya.

Wa Sudin, tipe orang yang ikhlas dan konsisten. Setiap tahun beliau selalu gowes datang ke rumah tanpa bosan dan lelah. Ya setiap tahun. Sering saya bertanya, "wa, apa gak cape naik sepeda jauh?"

Wa Sudin hanya menggeleng, sembari mulutnya komat-kamait karena giginya yang telah habis. 

Seringkali ketika Wa Sudin datang, saya menemani beliau bermain kartu remi, domino. 

Apa yang bisa menjadi pelajaran berharga dari Wa Sudin Ini? 

Pertama, beliau rajin pekerja keras. 

Kedua, sehat itu mudah, murah dan gowes menjadi salah satu bukti baliau diakhir masa tuanya tetap bugar. 

Ketiga, rajin silaturahmi. Setiap tahun selalu datang ke saudara-saudaranya. Saya bisa menebak, mungkin ada juga rumah saudara lainnya yang sering dikunjungi. Rumah Babeh Tasyana adalah salah satunya. Menginap berminggu-minggu bahkan sebulan lebih. Itu dilakukan rutin setiap tahun.

Keempat, rajin berbagi. Beliau tak sayang berbagi dari hasil upah kerjanya dari toko sembako. Keluarga saya selalu kebagian sembakonya. Luar biasa. 

Saya lupa, kapan terakhir kali bertemu beliau. Mungkin kelas tiga SMA. Seingat saya, semenjak merantau di Kota Gudeg, saya jarang ketemu dan hilang kabar darinya. 

Singkat cerita, saya mendengar kabar meninggalnya beliau. Saya terkejut, bagaikan mimpi,  tak percaya, tapi semua itu adalah takdir dari Allah, Swt. 

Kalau sedang berkontemplasi di depan rumah, meliat ruangan yang dulu pernah di singgahinya, ingatan saya melayang jauh di angkasa, ada rasa kangen menantikan Wa Sudin berkunjung. 

Kala itu, setelah meninggal, masih ada tiga sepedanya yang masih baru terbungkus plastik di rumah. Semuanya sudah diambil oleh ahli warisnya. 

Saya hanya bisa mendoakan untuk Wa Sudin. Semoga diterima semua amal solehnya, ditempatkan di sisi terbaik oleh Allah, Swt. Aamiin

Al-fatihah....

Selamat jalan Wa Sudin....

Pamulang - Tangsel, 17 Juli 2025.

Posting Komentar untuk "Gowes Anjatan - Widasari"