Mepeh Gabah dan Makna Filosofinya

Mepeh gabah atau dalam bahasa Indonesia-nya Jemur Padi adalah salah satu aktivitas dalam rangkaian dunia pertanian khususnya padi.

Mepeh gabah itu bahasa Jawa sehari-hari tempatku di Indramayu. Dulu, saya sering melakukan aktivitas ini untuk membantu orang tua.

Biasanya, tidak semua anak mau membantu untuk mepeh gabah karena selain panas, biasanya juga sering buat gatal-gatal terutama "ladunya". Ladu  sendiri itu bisa diibaratkan debu-debu kecil. Sering juga disebut "lugut". Untuk lugut sering juga ada di tanaman bambu. Warna hitam kecil lembut. Kalau kena, kita akan serasa ditusuk-tusuk jarum paling kecil. "Ngecis," begitu kira-kira kata yang sering diucapkan.

Dunia pertanian padi prosesnya cukup panjang. Saya hapal betul karena memang sering membantu orang tua. Mulai dari pra tanam, masa tanam, hingga panen, bahkan pasca panen. Sungguh panjang. Itulah kenapa petani sering kali dianggap berat. Mulai dari sisi tenaga, belum lagi masalah teknis irigasi air, hama, pupuk mahal dan masih banyak lainya.

mepeh gabah

Mepeh gabah sendiri salah satu proses yang harus dilewati karena ada beberapa tujuan. Pertama, untuk mengerikan padi. Pengeringan padi ini juga agar ketika disimpan dalam gudang bisa tahan lama sehingga tidak mudah berjamur. Selain itu, tentunya agar harga jual lebih mahal. Padi yang kering harga jualnya lebih mahal ketimbang padi yang masih basah. Walaupun semahal-mahalnya padi yang dijual, yah tetap saja sering kali menjadi mainan para tengkulak. 

Kedua, padi yang masih basah apabila disimpan dalam karung dalam waktu lama, maka bisa tumbuh. "Cukul, jadi tokol, orang tua bilang." Lagi-lagi ini akan menyebabkan murahnya harga jual. Bahkan, bukan hanya murah, kadang bandar tempur (pembeli padi) ogah membelinya alias tidak laku. Itulah sebabnya, proses mepeh gabah (menjemur padi) ini penting. 

Intinya mepeh gabah ini muaranya persoalan harga saja kendati ada tujuan-tujuan lain. Memang, dalam beberapa kasus, ada petani yang menjual padi itu dalam keadaan apa adanya. Artinya sejak dipanen langsung dijual. Mungkin karena ada faktor lain, entah karena kebutuhan yang medesak atau mungkin agar praktis saja, tidak mau disibukan dengan proses mepeh gabah.  Semua akan kembali ke pilihan petani masing-masing dengan segala pertimbangannya. 

Hemat saya, wajar apabila ada petani yang menjual padi langsung ke bandar tempur tanpa ingin menjemur terlebih daulu karena selain dari sisi kepraktisan juga kadang karena memang tidak mempunyai tempat untuk menjemur. Bagi yang tidak punya lahan, maka tradisi mepeh gabah di jalan seperti gang-gang atau jalan yang dilalui mobil sekalipun bisa dimanfaatkan. Contohnya seperti foto diatas. Lokasi foto di kampung halaman saya, yakni Indramayu. Saat mepeh gabah pun harus selalu diawasi karena bisa saja faktor alam seperti hujan tiba-tiba datang. Belum lagi kalau tetangga mempunyai ternak ayam, maka jangan sampai lengah sedikitpun. 

Filosofi Mepeh Gabah

Hemat saya pribadi, mepeh gabah sendiri bukan hanya sekedar aktivitas rutin ketika panen, tapi tentu memiliki makna filosofi yang mendalam. Lagi-lagi selalu saya merenung, berkontemplasi terkait makna mepeh gabah ini. Sama halnya seperti aktivitas lain dikampungku seperti nener dan rencek. Dua tulisan itu sudah saya kemas dalam buku berjudul Merangkai Makna Tersembunyi: Sepenggal Kisah Dari Kampung Mangga.

Lalu, apa filosofi makna mepeh gabah?

Saya akan coba gali menjadi 5 hal, yakni proses, kualitas, ketelitian, ketepatan, kesabaran. 

Pertama, proses. Sejatinya, apapun itu, semuanya perlu proses. Kita sadar itu, tapi ada saja yang tidak tahan dengan yang namanya proses. Ingin bisa ini, ingin bisa itu, pendek kata semua itu perlu proses. Dengan mepeh gabah pun demikian. Dari mulai panen, lalu padi dimasukan dalam karung, lantas dijemur hingga kering, dimasukan dalam karung lagi. Itu semuanya proses. Tidak instan. Wahai manusia, jika punya keinginan, masihkah anda bermimpi ingin mencapai sesuatu yang diidam-idamkan itu bisa berhasil tanpa melalui proses? 

Kedua, kualitas. Kenapa? Ya, karena proses menjemur itu agar didapatkan kualitas gabah yang kering. Dengan mengandalkan terik sinar matahari, ini menandakan ingin adanya perubahan yang lebih baik. Dari kondisi basah menjadi kering sehingga harga diharapkan lumayan tinggi. Utamakan kualitas yang terbaik untuk setiap pekerjaan. Apapun itu.

Ketiga, ketelitian. Mepeh gabah ini bukan sekedar mepeh, tapi ada aktivitas lain sembari membuang sesuatu yang bercampur dengan gabah itu sendiri. Misalnya kadang ada batu kerikil, ulat, jerami yang masih terbawa, dan lain sebagainya. Saat kita membolak-balikan gabah, baik dengan alat ataupun dengan kaki sembari berjalan, maka disitulah ada aktivitas ketelitian. 

Keempat, ketepatan. Menyoal ini, tentu saja pada keadaan akhir padi ketika dijemur. Seberapa kering, ini harus paham. Ketepatan ini tentang "rasa." Padi yang sekiranya sudah kering, layak untuk dimasukan dalam karung lagi, maka proses mepeh gabah pun bisa selesai.

Kelima atau terakhir, kesabaran. Ini yang paling inti. Mepeh gabah itu panas, gatal, belum lagi kondisi alam yang tak menentu. Harus banyak-banyak berdoa. Saya pernah ketika proses mepeh gabah tiba-tiba hujan. Sesegera mungkin harus dikumpulkan membentukan barisan gundukan, lalu baru ditutupi dengan terpal. Kadang hujan sebentar, lalu panas lagi. Belum lagi kondisi sekitar, ada banyak ternak ayam misal dari tetangga. Kesabaran menjadi kunci keberhasilan mepeh gabah.

Nah, itulah lima makna filosofi mepeh gabah. Sejatinya masih banyak yang lainya, tapi sementara ini saya cukupkan lima dulu berdasarkan pengalaman pribadi. 

Semua itu, terkait makna filosofi mepeh gabah, idealnya bisa saya aplikasi dengan pekerjaan saya yang sekarang sebagai pustakawan, bloger ataupun tukang rekam video. Agar lebih mantap. Semoga bisa. 

Salam, 
Murad Maulana
Penulis Buku Merangkai Makna Tersembunyi: Sepenggal Kisah dari Kampung Mangga

Komentar