Kisah Rambo, Mulut dan Petamburan

Siang itu, cuaca cukup panas. Waktu menunjukkan pukul 11.57 WIB. Sayup-sayup terdengar suara azan Zuhur berkumandang. Saya pun bergegas pergi keluar ruangan. 

Ingin rasanya menuju tempat yang dulu sering saya datangi sebelum covid melanda negeri ini.

Sejak covid, sudah lama saya tidak datang ke tempat itu. Entahlah, kali ini saya bersikeras ingin mengunjunginya. Ok, hari ini saya putuskan untuk datang saja.

Saya bergegas menuju halaman belakang. Sesampai di lokasi, para jemaah memang tak banyak. Maklum, karena para pegawai juga masih ada yang berkerja dari rumah.

Setelah salat, seperti kebiasaan dulu, saya selalu mundur ke belakang. Duduk sesekali melihat sekeliling. Karpet merah empuk ini, membuat saya semakin ingin berlama-lama untuk rehat sejenak.

Sembari rehat sejenak, teman datang. Seorang arsiparis.

Karena lama tak bertemu, tentu saja saya dan teman pun saling menyapa lantang. Rindu setelah lama tak berjumpa.

"Assalamualaikum bang," Sapa Mbah Dul. 

"Walaikum salam,"Jawabku penuh semangat. 

Tak berselang lama, seorang arsiparis bergabung lagi. "Assalamualaikum bos," Sapa Mbah Yani. 

"Walaikum salam," Jawab saya dan Mbah Dul berbarengan.

Kami bertiga pun berkumpul. Duduk bersama saling menghadap melingkar.

"Gimana nih? Rambo..," Ucapku spontan. 

"Hahaha...hahaha," Kedua Mbah pun tertawa, terkekeh-kekeh.

Entah mengapa saya juga menyebut nama itu spontan. Mungkin karena sudah sebulan lebih diberbagai media selalu ada berita tentang itu. TV, Youtube, media sosial. Bahkan, diberbagai obrolan warung kopi, tempat ronda, kantor, semuanya tak luput membincangkan kisah si Rambo. Bak cerita sinetron seperti tak ada habisnya. Selalu ada episode baru. Dan sepertinya banyak masyarakat banyak yang antusias menunggu. Kendati lama, tapi banyak dari mereka bersabar menunggu kisah selanjutnya. Reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang biasa saja. Ada yang ngomel-ngomel. Ada juga yang keheranan. Saya sendiri jadi teringat Buku Puisi-Puisi Remy Silado, salah satunya berjudul Mulut. Puisinya pendek hanya dua baris: 

Berbantah ibaratnya pintu air

Begitu dibuka pertikaian mengalir

Puisi-Puisi Remy Silado

Kami bertiga pun berdiskusi. Bak, analis ulung. Dua mbah melihat dari perspektif kearsipan. Analisis fakta-fakta. Sedangkan saya melihat dari perspektif dunia pengetahuan. Mulai dari konspirasi sampai politik praktis. Walau pengetahuan saya masih secuil, setidaknya cukup meramaikan diskusi siang itu. Ya, cukup sekalian untuk hiburan. 

Sebenarnya, kami bertiga berdiskusi tentang Rambo, tidaklah serius seperti bapak-bapak yang katanya terhormat, yang ada kursi empuk itu. Tidak! Kami bertiga hanya orang kecil yang merasa miris melihat fenomena yang terjadi. Kami hanya orang-orang yang penuh harapan baik untuk hidup ini. kami hanya orang-orang yang ingin berbincang-bincang ringan melepas penat diselingi gelak tawa setelah setengah hari bergulat dengan pekerjaan. 

"Tentang masalah Rambo, biarlah mereka yang katanya orang-orang penting yang akan menyelesaikan. Semoga semua beres. Jujur dan terbuka. Kita orang kecil hanya bisa melihat saja," Kata Mbah Dul.

"Ya," Sahutku dan Mbah Yani bersamaan mengangguk pasrah.

***

"Tapi, ngomong-ngomong, itulah kenapa kita perlu tokoh kharismatik yang dari Petamburan itu sebagai penyeimbang di negara ini," Ucapku berapi-api menutup diskusi siang hari ini karena tak terasa, ternyata waktu istirahat hampir selesai.

"Nah, itu. Betul-betul," kata dua mbah begitu kompak. Kami bertiga pun bergegas pergi. Keluar menuju ruangan masing-masing. Membawa harapan. Harapan yang indah. 

Saya jadi teringat, masih ada satu pekerjaan lagi masih belum selesai. Memberi call number buku, 050 MKC F. Harus selesai, jangan sampai menggantung. Apalagi dilupakan.

PM JKT, 23 Ags 2022

Salam, 
Murad Maulana
Penulis Buku Merangkai Makna Tersembunyi: Sepenggal Kisah dari Kampung Mangga

Komentar