Kolaborasi Pustakawan Dalam Membangun Konten Lokal di Perpustakaan Umum

Tulisan opini kepustakawanan kali ini diterbitkan di Warta Perpustakaan Nasional, Volume XXIV No.2 Tahun 2019, halaman 19. Berikut naskah lengkapnya. Unduh Warta Perpusnas versi PDF disini.

Kolaborasi Pustakawan Dalam Membangun Konten Lokal di Perpustakaan Umum 

Sejatinya sebelum bekerja di perpustakaan khusus lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) sekarang ini, dulu penulis pernah bekerja di perpustakaan umum. Kurang lebih sekitar 7 tahun peenulis berkecimpung di perpustakaan umum, tepatnya di kampung halaman sendiri.  Ada salah satu program yang sebelum pindah tugas, ingin sekali penulis realisasikan. Apa itu? Yakni, terkait pengembangan koleksi khususnya penguatan konten lokal berdasarkan aspek sosial dan budaya. Singkatnya, konten lokal ini merupakan aset koleksi yang unik dan berbeda dari perpustakaan umum lainya di seluruh Indonesia kerena menyangkut sosial dan kearifan lokal budaya setempat. Sehingga antar perpustakaan umum yang ada itu, masing-masing memiliki karakteristik koleksi sesuai dengan corak budayanya masing-masing. Disisi lain, penguatan konten lokal ini juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan sebagai upaya dalam pengembangan dan pelestarian budaya lokal.

Cover Warta Perpustakaan Nasional, Volume XXIV No.2 Tahun 2019

Kita tahu, Indonesia kaya akan ragam budaya yang unik dan itu memiliki karakteristik tersendiri untuk setiap daerah. Mulai dari bahasa, adat-istiadat, permainan dan pengetahuan tradisional, bahkan hingga mata pencaharian. Konon, untuk bahasa daerah saja di Indonesia berjumlah 652 bahasa daerah. Luar biasa. Belum lagi, budaya-budaya lainya misalnya sejarah antar desa, perilaku keseharian masyarakat, seni, dan masih banyak yang lainya. Keanekaragaman budaya di Indonesia ini, pada dasanya adalah sebuah peluang khususnya bagi perpustakaan umum yang ada di setiap kabupaten/kotamadya, bahkan provinsi. Oleh karena itu, perpustakaan umum harus peka dan mulai melakukan program pengembangan koleksi dengan cara menciptakan atau memproduksi sendiri. Jadi, jangan hanya mengandalkan dari pembelian saja.

Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini perpustakaan umum lebih banyak melakukan pengembangan koleksi dengan cara pembelian. Porsi pengembangan koleksi dengan cara memproduksi sendiri masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan cara pembelian. Pengembangan koleksi dengan cara pembelian untuk buku-buku umum yang bersifat komersil memang penting. Namun, akan jauh lebih penting lagi apabila itu juga dibarengi dengan menciptakan atau memproduksi sendiri. Disini perpustakaan umum benar-benar menjadi lembaga penyedia informasi dan pengetahuan khusus budaya daerahnya sendiri. Inilah yang akan menjadi nilai berbeda di setiap perpustakaan umum di seluruh Indonesia. Sebagai contoh misalnya Perpustakaan Umum Indramayu dengan Perpustakaan Umum Jakarta Selatan akan memiliki konten lokal yang berbeda. Misal dari kesenian, di Jakarta ada lenong sedangkan di Indramayu ada sandiwara dan sintren. Keanekaragamn budaya itu, akan sangat disayangkan apabila tidak dibuat oleh perpustakaan umum menjadi pengetahuan terstruktur misal dalam bentuk buku baik cetak maupun digital, video dan lain sebagainya yang bisa dijadikan sebagai aset berharga suatu daerah.

Landmark 

Menyoal kata landmark, disuatu perkuliahan penulis jadi teringat pesan dari Priyanto, bahwa idealnya perpustakaan umum itu harus menjadi landmark. Lantas, apa sebenarnya makna landmark? Penulis mencoba mengartikan ke dalam bahasa Indonesia yang diartikan sebagai tengara. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, tengara adalah tanda; firasat. Jika dihubungkan dengan perpustakaan, maka istilah landmark yang lebih tepat sebagai tanda. Itulah kenapa perpustakaan umum harus menjadi tanda atau simbol khusus yang bisa diingat oleh masyarakat. Tanda disini tidak harus dalam bentuk fisik misalnya berupa bangunan atau lokasi tempat favorit. Namun, bisa berupa petunjuk atau referensi berupa pengetahuan. penulis membayangkan apabila keanekaragaman budaya itu banyak tersedia dalam bentuk pengetahuan terstruktur yang bisa dibaca oleh generasi mendatang, maka itu merupakan langkah konkret dalam upaya melestarikan budaya daerah. Itu merupakan bagian dari cinta terhadap budaya daerah agar bisa terus lestari.

Menurut hemat penulis, apa yang membedakan keistimewaan antar perpustakaan umum di seluruh wilayah Indonesia? Karena sejatinya menyoal perpustakaan ideal yang memiliki koleksi lengkap itu adalah absurd. Satu hal yang bisa digaris bawahi adalah perpustakaan umum yang ideal adalah perpustakaan umum yang memiliki konten lokal kuat mengenai budaya sekitarnya. Ini bisa menjadi referensi unggulan perpustakaan umum di seluruh Indonesia. Koleksi konten lokal biasanya bersifat terbatas dan tidak dijual misalnya seperti buku-buku umum lainya. Jika dibandingkan dengan koleksi umum yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta di Indonesia, itu lebih mudah diperoleh. Berbeda dengan koleksi konten lokal yang mempunyai krakteristik unggulan tersendiri karena setiap daerah memiliki budaya tersendiri. Itulah idealnya yang harus ditonjolkan. Hal tersebut bisa menjadi landmark sekaligus kekuatan perpustakaan umum dalam melakukan branding ke masyarakat luas. Jadi, jika dianalogikan misalnya ketika ada wisatawan yang mengunjungi daerah tertentu, hal pertama yang dipikirkan oleh wisatawan tersebut itu adalah perpustakaan umumnya. Kenapa? Karena perpustakaan itu menyediakan berupa konten lokal dengan beragam khas yang bisa menjadi rujukan si wisatawan tersebut.

Masalah Krusial

Penulis pernah mempunyai pengalaman menarik terkait konten lokal ini. Suatu ketika ada seorang peneliti dari luar negeri yang datang dan menanyakan tentang budaya seni tari topeng khas Indramayu. Jujur, saat itu agak sedikit malu, perpustakaan umum tempat penulis bekerja tidak memiliki koleksi tersebut. Ini menjadi tamparan tersendiri buat penulis sebagai pustakawan. Mengapa koleksi-koleksi lokal justru belum tersedia dan abai. Inilah yang membuat penulis berpikir bahwa konten lokal itu adalah penting bagi perpustakaan umum dimana pun berada karena itu merupakan aset yang unik dan berbeda antar perpustakaan umum yang ada di Indonesia.

Ada beberapa hal yang menjadi masalah krusial mengapa masih banyak perpustakaan umum cenderung masih fokus pada pengembangan koleksi pada pembelian. Penulis mengamati beberapa perustakaan umum sekaligus berdasarkan pengalaman sendiri. Apa saja? Yakni, diantaranya sebagai berikut:
  1. Kebijakan pengembangan koleksi biasanya cenderung pada pembelian. Sementara untuk menciptakan atau memproduksi sendiri itu masih jarang. Selain itu, masih ada paradigma dalam hal pengembangan koleksi hanya terkait pembelian dan hadiah. 
  2. Penyusunan program dan anggaran yang hanya mengulang dari tahun-tahun sebelumnya. Mengapa? Biasanya karena budaya copi paste. Tidak ada kreativitas penyusunan anggaran untuk program-program yang baru. Sehingga alokasi anggaran khusus seperti untuk tim penyusunan manajemen pengetahuan guna memproduksi koleksi sendiri masih belum memahami.
  3. Khusus untuk sumber daya manusia perpustakaan umum seperti pustakawan masih banyak yang belum tahu alur penerbitan misalnya pada buku cetak maupun digital atau koleksi jenis lainya seperti video. 
  4. Masih banyak juga pustakawan yang belum memahami dunia kepenulisan sehingga ketika ada tantangan dalam pengembangan koleksi untuk memproduksi sendiri itu masih terasa sulit.
  5. Perpustakaan masih kurang melakukan kerjasama atau kolaborasi dengan berbagai pihak khususnya yang berhubungan dengan produksi pengetahuan itu sendiri. 

Lima faktor diatas, dari mulai anggaran, program kreatif , dan kompetensi pustakawan dalam dunia menulis itu bisa dilakukan perubahan apabila ada niat dan komitmen dari masing-masing pihak. Dari kepala perpustakaan sebagai penentu kebijakan, kepala seksi hingga pustakawan sendiri sebagai inti penggeraknya. Khusus untuk pustakawan bisa melakukan usulan terkait program pengembangan koleksi yang fokus pada penciptaan pengetahuan yang diproduksi sendiri. Dari lima itu, satu hal yang lebih penting adalah upaya kerjasama atau kolaborasi dengan pihak lain. Di era digital ini kolaborasi menjadi kunci penting untuk bisa menciptakan konten lokal yang bisa menjadi koleksi unggulan antar perpustakaan umum di seluruh wilayah Indonesia.

Kolaborasi

Akhir-akhir ini, hadirnya teknologi informasi dan komunikasi selalu dipandang menjadi kunci perubahan dalam segala bidang. Tak terkecuali dengan perpustakaan. Pengaruh yang paling signifikan terjadi adalah pada layanan yang diberikan. Tak jarang, kini banyak perpustakaan yang harus berbenah. Sadar akan perubahan yang terjadi, maka kepekaan yang muncul itu harus dibarengi dengan tindakan. Tak sekedar niat belaka, harus ada rencana dan eksekusi di lapangan. 

Seperti halnya pisau, teknologi juga memiliki dua sisi yang berbeda, baik positif atau pun negatif. Tergantung, ditangan mana itu berada. Jika berada di tangan-tangan baik super kreatif, maka akan banyak menuai manfaat. Namun, juga sebaliknya. Jika berada di tangan orang yang pasif, maka tak lebih hanya sekedar aksesoris belaka. Perpustakaan adalah menjadi salah satu institusi yang terkena pengaruh teknologi. Bahkan, sekarang bukan hanya pada institusinya saja. Belakangan, pada pustakawannya itu sendiri kini terkena imbasnya. Dampaknya banyak terjadi kekhawatiran. Munculnya banyak isu pustakawan hingga sampai diseminarkan diberbagai tempat bahwa pustakawan menjadi salah satu pekerjaan yang akan terkena disrupsi. Hal itu jelas disinggung oleh Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption dan salah satu artikelnya di Kolom Kompas berjudul Inilah Pekerjaan Yang akan Hilang Akibat "Disruption."

Apa yang harus dilakukan oleh pustakawan atas kondisi tersebut? Diberbagai seminar atau lokakarya selalu digaungkan akan kata kompetensi. Ya, pustakawan konon katanya harus meningkatkan kompetensi baik hard skill maupun soft skill. Memperbaharui skill itu penting agar tidak tertinggal. Memposisikan peran yang lebih dinamis. Pustakawan harus ini dan itu agar tidak terdisrupsi. Satu hal lagi yang di gaungkan, yakni kolaborasi. Pustakawan harus menjadi kolaborator dalam segala bidang. Tak jarang, pustakawan yang bekerja di perpustakaan khusus lembaga misalnya harus berkolaborasi dengan peneliti. Pustakawan yang bekerja di perpustakaan sekolah, maka paling tidak harus berkolaborasi dengan guru. Begitu pula pustakawan yang berkerja di perpustakaan perguruan tinggi juga harus berkolaborasi dengan dosen dan lain sebagainya. 

Lantas, bagaimana dengan pustakawan yang berada di perpustakaan umum? Hemat penulis bisa berkolaborasi dengan  berbagai pihak baik secara institusional maupun profesi misalnya dengan dinas setempat seperti dinas pariwisata dan kebudayaan. Kolaborasi yang bersifat profesi misalnya arsiparis, sejarahwan, komunitas lokal dengan berbagai kegemaran seperti fotografi, bloger, vloger, relawan pegiat literasi, pecinta kesenian lokal, dan masih banyak yang lainya. 

Kolaborasi dengan berbagai pihak itu bisa dilakukan oleh pustakawan yang bekerja di perpustakaan umum guna membangun konten lokal yang lebih berkualitas dan berdaya guna. Kolaborasi di era digital ini adalah peluang. Komunikasi lebih mudah karena adanya internet dan berbagai aplikasi. Hasilnya pun bisa di desiminasikan lebih cepat. 

Penulis mempunyai gambaran bagaimana kolaborasi bisa menghasilkan koleksi konten lokal yang bisa menjadi koleksi unggulan dari setiap perpustakaan umum di seluruh Indonesia. Berikut gambaran singkatnya:

Gambar kolaborasi pustakawan di perpustakaan umum dengan berbagai unsur terkait
Gambar kolaborasi pustakawan di perpustakaan umum dengan berbagai unsur terkait
Kolaborasi yang dilakukan oleh perpustakaan umum dalam hal ini pustakawan sebagai inisiator sekaligus penanggung jawab kegiatan. Pustakawan harus bekerja dalam tim agar proses eksekusi di lapangan bisa sesuai dengan harapan. Apabila ada kendala, itu bisa teratasi dengan cepat dan tujuan bisa tercapai. Dengan merangkul empat titik penting itu seperti institusi, komunitas, profesi dan industri, maka setidaknya akan saling berperan sesuai posisinya masing-masing. 

Sebagai contoh penulis beri gambaran akan membuat buku tentang asal usul desa. Maka kolaborasi yang dilakukan di institusi misalnya kelurahan/kantor kepala desa setempat. Jika kontennya tentang kesenian, maka bisa menggandeng dewan kesenian daerah setempat. Bagaimana kalau tentang daerah wisata? Maka, bisa menggandeng dinas pariwsata dan kebudayaan setempat. Sementara untuk industri bisa berperan sebagai sponsorship. Misalnya contoh lokasi di Indramayu bisa menggandeng Pertamina jika menyediakan tanggung jawab sosial perusahaan atau sering disebut corporate social responsibility (CSR). Industri disini jua termasuk dunia percetakan misalnya dengan menggandeng penerbit-penerbit swasta. Profesi bisa arsiparis, sejarahwan, seniman, editor dan lainya yang terkait. Bagaimana dengan komunitas? Dalam upaya proses penulisan bisa menggandeng komunitas bloger. Untuk foto-foto bisa komunitas fotografi lokal. Penulis pernah berkunjung ke Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Mereka pustakawan bekerja sama dengan arsiparis untuk membuat konten lokal khusus tokoh-tokoh Sumatra Barat. Mereka melakukan wawancara kepada berbagai informan. Ini tentu kolaborasi yang menarik antar profesi.

Selanjutnya hasil konten lokal berupa buku tersebut harusnya di desiminasikan dengan format yang bervariasi. Bukan hanya cetak, di era digital ini idealnya juga disediakan format ebook misal dalam format PDF. Jika perpustakaan umum memiliki layanan digital bisa disediakan berupa apps sehingga bisa diakses melalui ponsel pintar. Satu hal lagi, format dalam video tentunya juga harus dibuat. Kesempatan ini bisa dilakukan misalnya dengan menggandeng pembuat konten video atau vloger. Akhir-akhir ini, maraknya pemanfaatan platform Youtube hingga melahirkan apa yang dikenal dengan sebutan youtuber. Ini adalah peluang. Mereka para youtuber  bisa diajak berkolaborasi untuk sama-sama melakukan branding budaya lokal. Ingat, apabila terkait era digital, maka identik dengan pemustaka generasi milenial. Merujuk pada hasil survey yang dilakukan Asosiasi Jasa Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017 bahwa layanan yang diakses khusus untuk menonton video hingga mencapai 69, 64%. Sedangkan yang mengunduh video hingga 70, 23%. Oleh karena itu, konten lokal seharusnya juga dibuat versi videonya karena koleksi berupa video cenderung disukai oleh generasi milenial. 

Penutup

Upaya membangun konten lokal untuk perpustakaan umum di era digital dengan cara berkolaborasi ini adalah salah satu kreatifitas pustakawan dalam berpartisipasi aktif untuk pengembangan koleksi yang tidak hanya fokus pada pembelian, melainkan juga pada produksi pengetahuan sendiri yang di dasarkan pada keanekaragaman budaya. Selain itu, menariknya upaya tersebut juga merupakan bagian untuk melestarikan kearifan budaya lokal yang mulai banyak terkikis akibat kemajuan zaman. Contoh yang paling mudah adalah masih minimnya bahan bacaan dalam berbagai format yang mengulas tentang mainan tradisional. Anak-anak sekarang mungkin lebih paham bermain ponsel pintar jika dibandingkan dengan mainan tradisional zaman dahulu kala. Hal-hal seperti inilah yang bisa dilakukan pustakawan di perpustakaan umum untuk menghimpun budaya lokal ke dalam bentuk yang lebih terstruktur. Jangan takut pustakawan di perpustakaan umum terkena disrupsi karena peluang untuk menghimpun pengetahuan budaya lokal itu masih terbuka lebar. Disini dibutuhkan peran pustakawan yang berani untuk berkolaborasi.

Referensi

  • Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2017. Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017. 2017. Terarsip dalam https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_2017_v1.3.pdf. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019. 
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. 2016. Tengara. Terarsip dalam https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tengara . Diakses pada tanggal 20 Maret 2019. 
  • Kasali, Rhenald. 2017. Inilah Pekerjaan Yang akan Hilang Akibat "Disruption". Terarsip dalam https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/18/060000426/inilah-pekerjaan-yang-akan-hilang-akibat-disruption-. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019.
  • Kasali, Rhenald. 2017. Meluruskan Pemahaman soal “Disruption”. Terarsip dalam http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2017/05/05/meluruskan-pemahaman-soal-disruption-kompas-com-rumah-perubahan-2/. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Badan Bahasa Petakan 652 Bahasa Daerah di Indonesia. Terarsip dalam https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/07/badan-bahasa-petakan-652-bahasa-daerah-di-indonesia.  Diakses pada tanggal 20 Maret 2019. 
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2016. Mengenal Generasi Millennial. Terasip dalam https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019. 
  • Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
  • Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan

Salam,
Pustakawan Blogger

Komentar