Nasib Para Pakar di Era Digital
Menarik sekali membaca esai yang ditulis Prof. Komaruddin Hidayat di Sindo News hari ini (11/01/2018). Judulnya Pudarnya Kepakaran. Konon judul esai tersebut terinspirasi dari buku yang dibacanya, The Death of Expertise (2017) yang ditulis oleh Tom Nichols.
Saya sendiri belum pernah membaca buku yang dibaca Pak Komaruddin tersebut. Tapi, dari esai itu, secara ringkas saya bisa tahu bahwa konon katanya, saat ini telah terjadi pudarnya kepakaran atau death. Jadi, ada pergesaran status misalnya pada seorang ilmuwan yang memiliki disiplin ilmu tertentu dengan pengalaman yang begitu tinggi, ahli dibidangnya sehingga diakui kepakaraannya, namun kini dianggap tak berarti.
Kenapa itu bisa terjadi? Konon katanya dikarenakan beberapa sebab. Diantaranya adalah alasan demokrasi, dimana setiap warga dilindungi haknya oleh undang-undang untuk mengeluarkan pendapat. Kemudian, ditambah dengan adanya internet sebagai media yang menjembatani demokrasi tersebut sehingga informasi begitu mudah diperoleh dan disebarkan. Setiap orang bisa menjadi penulis sekaligus pengkritik melalui internet tersebut. Bebas mengeluarkan pendapat. Penyebab lainya adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih spesifik. Dalam arti, ada cabang-cabang ilmu baru yang lebih khusus lagi.
Kenapa itu bisa terjadi? Konon katanya dikarenakan beberapa sebab. Diantaranya adalah alasan demokrasi, dimana setiap warga dilindungi haknya oleh undang-undang untuk mengeluarkan pendapat. Kemudian, ditambah dengan adanya internet sebagai media yang menjembatani demokrasi tersebut sehingga informasi begitu mudah diperoleh dan disebarkan. Setiap orang bisa menjadi penulis sekaligus pengkritik melalui internet tersebut. Bebas mengeluarkan pendapat. Penyebab lainya adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih spesifik. Dalam arti, ada cabang-cabang ilmu baru yang lebih khusus lagi.
Menurut Prof Komaruddin, fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia. Terlebih pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun selalu meningkat. Beberapa contohnya saat ini banyak pasien yang sudah mulai belajar sendiri misalnya melalui internet mengenai penyakit tertentu dengan obatnya. Tidak hanya itu, Prof juga mencontohkan pada acara debat di televisi yang seringkali semua narasumber merasa memiliki pengetahuan yang sejajar dan tentu saja dalam dunia politik misalnya pada pemilihan calon legislatif yang tidak lagi mempertimbangkan kepakaran tertentu. Sehingga seringkali mereka yang menang lebih bergantung pada uang dan publikasi.
Realita di Lapangan
Menyoal dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Komarudin tersebut, saya sepakat dan realita di lapangan sering kali itu terjadi khususnya di ranah media sosial. Oleh karenanya, tak jarang apabila ada seorang doktor untuk pakar tertentu, oleh warganet yang tak sepaham, maka akan sering kali di komentari dengan perkataan-perkataan kasar misalnya maaf, "goblog, tolol, gak berotak," dan lain sejenisnya. Serasa para warganet itu adalah ahlinya.
Di dalam dunia hukum dan politik, kondisi tersebut juga tak jarang menjadi bahan debat yang tak berujung. Media sosial menjadi menjadi media yang paling ramai untuk membully jika dianggap tidak sepaham dengan pola pikir sang warganet kendati yang berbicara itu memang benar-benar orang yang mempunyai kepakaran dalam bidang tertentu.
Saya jadi teringat perkataan dari seorang teman. Katanya, "betapapun kamu kuliah sampai bergelar doktor, bahkan hingga sampai profesor sekalipun, maka tetap kalah sama komentar para warganet kendati mereka hanya membaca dari hasil mesin pencarian Google."
Apabila melihat kondisi tersebut, tentu sangat miris sekali. Akankah status para pakar bagi ilmuwan dimasa yang akan datang masih memperoleh penghormatan diera digital ini? Mungkin, bisa jadi para pakar itu tetap memiliki status terhormat, tentunya bila para warganet mempuyai kemampuan literasi digital yang baik. Mungkin loh ya.
Baca juga: Definisi, Manfaat dan Elemen Penting Literasi Digital
Salam,
Pustakawan Blogger
Posting Komentar untuk "Nasib Para Pakar di Era Digital"