Belajar Hidup dari Para Roker (Bagian 1)

Kalau dihitung-hitung sudah berapa tahun ya saya jadi roker alias penumpang rombongan kereta. Tepatnya setelah mutasi PNS tahun 2012, sejak saat itulah kantor saya berada di Jalan Gajah Mada Jakarta Pusat. Tahun 2012 itu juga tidak lantas langsung jadi roker, butuh satu tahun mulai aktif jadi roker setelah melewati masa-masa pergi ke kantor dengan mobil jemputan dan motor.

Selama menjadi roker, banyak sekali pengalaman-pengalaman yang saya peroleh, senang, susah, sedih, sebal pokoknya semua jadi satu. Mungkin buat teman-teman yang sering membaca blog saya ini, seringkali saya lontarkan misalnya istilah "seperti ikan sarden". Itu menggambarkan begitulah kira-kira menjadi seorang roker. Tapi, beruntung, saya akui sekarang setelah selama dua tahun libur menjadi roker karena tugas belajar di Jogja, dan ketika mulai aktif kembali di akhir tahun 2017 ini, tiba-tiba mulai banyak perubahan. Misalnya jadwal dan penambahan kereta.
Baca Juga: Manusia Sarden dan Wirausahawan
Para Roker di Stasiun Tanah Abang
Para Roker di Stasiun Tanah Abang
Saat ini, sepertinya saya merasakan kemudahan ketika akan pergi maupun pulang dengan KRL. Ditambah dengan hadirnya ojek online, ketika pulang pun bisa dilakukan lebih cepat karena dahulu jika dibandingkan dengan naik angkot dari kantor menuju Stasiun Tanah Abang, perbedaanya bisa setengah jam. Akhirnya naik kereta pun bisa mengalami keterlambatan. Dampaknya bisa berdesak-desakan dan tentu saja sampai rumah bisa melebihi waktu sholat maghrib tiba. Mmmmm..

Nah, perubahan penggunaan transportasi karena teknologi ternyata sangat mempengaruhi jam pulang dari kantor hingga sampai rumah. Tetap bersyukur, alhamdulillah...

Tulisan ini rencananya akan saya buat secara berseri khususnya pengalaman menjadi roker. Entah itu pengalaman sedih atau membahagiakan. Saya kira semua itu bisa diambil hikmahnya untuk nasihat, renungan, atau pun lainya. 

Saya melihat pergi pulang kerja naik KRL itu ada budaya baru pada seseorang mulai dari waktu, perilaku atau kebiasaan, bahkan hingga cara berpikir seseorang. Terus terang saya sendiri merasakannya. Contoh yang paling gampang adalah misalnya komunikasi antar penumpang. Selama menjadi roker sudah berapa kali mengajak ngobrol dengan penumpang lain? Jujur, saya sendiri belum pernah. Sepertinya mereka lebih asyik dengan gadgetnya entah bermusik, bermain game, membaca, bermedia sosial, merenung, berkhayal dan sebagainya.

Belajar hidup dari para roker, saya anggap sebagai suatu proses belajar dalam kehidupan yang begitu luas. Nah, roker sendiri adalah salah satu ruang kehidupan pribadi saya karena setiap hari menjadi bagian dari itu. Tentunya saya perlu melihat lebih dalam terkait roker, dimana disana banyak sekali sisi-sisi filosofi kehidupan yang bisa di eksplore dari segala aspek.

Belajar hidup dari para roker adalah ruang berkontemplasi untuk melihat sisi-sisi kehidupan manusia ditengah kota metropolitan yang dihantui dengan kondisi kemacetan. Horor, keterpaksaan, pilihan situasi rumit, dan sejenisnya adalah bumbu-bumbu kehidupan yang saya kira perlu jadi perhatian karena akan berpengaruh pada perilaku seseorang.

Melalui blog ini, saya akan mencoba menuliskan tentang belajar hidup dari para roker dari sisi saya sebagai seorang pustakawan sekaligus blogger. Saya anggap ini sebagai tulisan pembuka; bagian 1, belajar hidup dari para roker.

Salam,
Pustakawan Blogger

Komentar