Di Era Digital ini, Tanamkan Akhlak/Budi Pekerti Sebelum Literasi Digital

"Klo akhlak baik, mau di dunia maya kek, mau di dunia nyata kek, Insya Allah aman. Jadi, pondasinya akhlak dulu!"
Dalam dua bulan terakhir ini, saya mengamati perilaku warganet mulai di blog, media sosial seperti Facebook, Youtube, hingga media daring seperti Merdeka, Kompas dan Detik. Fokus saya adalah pada pembuat konten, komentator dan yang rajin membagikan konten tersebut. Seringkali saya memantau setiap warganet tersebut secara berkala.
Warganet
Warganet
Untuk pembuat konten bisa seorang bloger (baik anonim maupun terbuka) dan Youtuber, personal yang update status di Facebook, dan juga komentator baik di forum maupun berita-berita di media daring seperti yang saya sebutkan diatas. Mereka yang saya amati setiap hari ini, tentu tidak bisa saya sebutkan di blog ini.

Saya penasaran, karena fokus kajian saya adalah perilaku informasi dan literasi digital, maka yang ada dalam benak pikiran saya adalah pertama, untuk oknum pembuat konten di blog dan Youtube serta pembuat berita (sengaja saya pakai istilah oknum), mengapa mereka membuat konten tanpa memperhitungkan sisi manfaatnya dan seringkali membuat judul yang heboh, tanpa menghiraukan efek negatif yang akan terjadi. Saya berasumsi hal tersebut dilakukan hanya untuk mengejar sensasi dan kata kunci sehingga diharapkan akan ada banyak pengunjung. Apa motifnya? Tentunya kembali lagi persoalan fulus!

Kedua, dari konten-konten yang hanya mengejar sensasi itu, maka efeknya adalah bagi mereka para pengunjung selaku komentator yang tidak bisa menahan perasaan, maka yang terjadi adalah membuat komentar-komentar yang tidak terkontrol. Lepas kendali. Ini tentu sangat disayangkan. Walaupun saya mengamati dari beberapa personal ada yang berkomentar secara sopan dan halus. Tetapi, faktanya adalah kebanyakan dari mereka berkomentar negatif, kadang-kadang bahasa yang digunakan begitu kasar.

Ketiga, Selain dari pembuat konten, komentator, dan yang satu lagi adalah mereka oknum warganet yang gemar membagikan informasi berupa tulisan atau video yang sekali lagi tanpa berpikir panjang bahwa konten yang di bagikannya itu akan bisa berakibat negatif. Saya melihat disini tidak lagi menghiraukan, apakah konten tersebut merupakan hoax, fitnah dan sejenisnya.

Nah, dari permasalahan yang muncul dipermukaan tersebut, maka saya berpikir, satu hal yang harus menjadi pondasi atau perhatian baik dalam kehidupan nyata bahkan hingga dalam era digital ini adalah akhlak atau dalam bahasa universalnya adalah budi pekerti. Seringkali kalau berbicara akhlak selalu dikaitkan dengan Agama misalnya Islam. Ini memang tidak salah karena memang sejatinya dari bahasa arab. Namun demikian, yang ingin saya garis bawahi adalah akhlak atau budi pekerti disini menyangkut bagaimana seseorang harus perilaku terpuji untuk semua orang tanpa memandang agama apapun.

Tanamkan Budi Pekerti Sebelum Literasi Digital
Dahulu kita saya kecil, budi pekerti terpuji ini menjadi perbuatan yang harus dipraktikan misalnya bagaimana berjalan melintas didepan orang tua harus membungkukan badan, berbicara dengan orang tua harus menjaga tata krama, tidak boleh berbohong harus jujur, dan lain sebagainya yang kesemuanya bermuara pada perbuatan atau tindakan terpuji kepada orang lain. Sekarang, era digital ini tentu telah muncul struktur tatanan baru dimana proses komunikasi telah berubah. Pada akhirnya cara berperilakupun tentu berubah. Jika anak-anak yang lahir sekarang ini tidak ditanamkan budi pekerti sejak dini, maka yang terjadi adalah dehumanisasi, mulai lunturnya nilai-nilai luhur yang mencerminkan perbuatan terpuji. Saya kira, jika dimaknai secara luas terjadinya korupsi diberbagai lini adalah karena budi pekerti yang hanya dijadikan retorika belaka, bukan di praktikan. Bahkan, kasus bullying terjadi adalah karena krisis budi pekerti.
Baca juga: Kedepankan Akhlak, Stop Bullying!
Oknum pembuat konten, komentator dan juga oknum yang membagikan informasi tanpa berpikir panjang apakah informasi tersebut benar atau tidak adalah dikarenakan budi pekerti yang belum tertanam dengan baik. Pada dasarnya ada juga mereka yang sudah tahu bahwa perbuatannya itu salah, akan tetapi tetap dilanggarnya dengan berbagai macam dalih. Oleh karena itu, disinilah letak pentingya budi pekerti yang dipraktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Saya mengamati, biasanya mereka yang membuat konten pandai bermain psikologis pembaca atau penonton yang bisa saja membuat pembaca/penonton berkomentar negatif  akibat kurang bisa menahan emosi yang sudah sampai ubun-ubun. Oleh sebab itu, sekali lagi saya katakan disinilah pentingnya budi pekerti agar tingkah laku yang baik dan tidak baik dapat terkontrol.

Setelah mempraktikan budi pekerti, di era digital ini, keterampilan apa lagi yang kira-kira perlu dikuasai? Literasi digital. Ya, literasi digital. Apa itu literasi digital? Silahkan baca disini: Definisi, Manfaat dan Elemen Penting Literasi Digital

Mengapa saya menganjurkan tanamkan budi pekerti sebelum literasi digital? Berikut gambar kerangka yang saya buat:

Pentignya Budi Pekerti

Era digital, dimana internet sebagai tumpuan lingkungan sosial yang begitu besar tanpa ada pembatas apapun. Jika diibaratkan internet itu bagaikan hutan belantara yang apabila orang masuk ke dalamnya tanpa membawa kompas, maka yang terjadi adalah tersesat. Kompas diibaratkan sebagai agama, pegangan untuk selalu menuju ke arah jalan yang benar. Sementara agama akan selalu mengajarkan kebaikan, perbuatan terpuji.

Menyoal budi pekerti pada dasarnya memang akan terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang memang tahu dan kedua, mereka yang memang benar-benar tidak tahu. Permasalahannya adalah bagi mereka yang tahu, tentunya akan terbagi lagi menjadi dua, yakni mereka yang mempraktikan dan mereka yang hanya sekedar retorika belaka. Budi pekerti yang hanya sebagai retorika, maka yang terjadi adalah mereka para oknum akan membuat konten dan komentar negatif, mereka akan membagikan informasi tanpa memverifikasi terlebih dahulu.

Berbeda dengan mereka yang sudah tertanam dengan baik budi pekertinya dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, maka ketika ia membuat konten akan selalu mawas diri. Ketika berkomentar akan selalu berhati-hati, dan ketika akan membagikan informasi, akan selalu melihat baik dan buruknya. Pendek kata, semua dapat terkontrol dengan baik.

Pada tahap ini, maka keterampilan literasi digital dalam proses pencarian informasi tentunya sangat diperlukan. Keterampilan teknis misalnya seperti bagaimana cara membuat konten yang baik dan tidak melanggar UU ITE, bagaimana memverifikasi kebenaran informasi, mengetahui fungsi-fungsi utama media sosial, memahami pemanfaatan mesin pencari dengan kombinasi syntax yang digunakan,  mengetahui sumber-sumber informasi ilmiah, mahir memanfaatkan aplikasi di internet dan semuanya terkait kemampuan teknis di era digital.

Pada gilirannya, pondasi dasar budi pekerti yang dipraktikan, kemampuan literasi digital yang dapat dikuasai sehingga dalam proses pencarian tidak ada kendala, maka hasil yang positif sesuai harapan akan tercapai.

Jika dirumuskan adalah budi pekerti sebagai pondasi dasarnya, kemampuan literasi digital yang mumpuni sebagai kemampuan teknisnya, perilaku pencarian informasi sebagai proses pembuktian kebenaran dan hasil yang positif sebagai hasil akhir dalam lingkungan sosial yang begitu besar dijagat maya tanpa batas ini atau dengan apa yang kita sebut internet.

Kerangka diatas, tentu saja merujuk pada kasus yang terjadi dengan apa yang saya amati selama dua bulan terakhir ini. Menurut hemat saya, ini bisa menjadi kerangka penelitian khususnya pada warganet yang telah saya sebutkan diawal tadi, yakni pembuat konten, komentator, dan yang membagikan informasi. Idealnya, bagi mereka yang sudah mantap dengan praktik budi pekerti dan kemampuan literasi digitalnya, saya yakin yang terjadi adalah hasil yang positif. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang berperan dalam penanaman budi pekerti sejak dini? Saya kira jawabannya sudah tahu. Bagamana menurut teman-teman?

Salam,
Pustakawan Blogger

Komentar