Smart City Dalam Bingkai Dinamika Masyarakat Informasi
Dokumentasi papar kali ini sebenarnya sudah lama saya tulis. Sekitar bulan Desember 2015 dan baru sekarang bisa saya publish. Oleh karena itu, khusus data-data pengguna internet tentunya masih menggunakan data tahun 2014. Tulisan ini pada intinya membahas tentang smart city yang saya hubungkan dengan perspektif Manuel Castells terhadap dinamika masyarakat informasi. Selain itu juga, disinggung seperti apa prospek dan tantangan bagaimana apabila smart city di implementasikan di Indonesia, tentu saja berdasarkan analisis saya pribadi. Judul paper ini adalah "Smart City Dalam Bingkai Dinamika Masyarakat Informasi".
Tulisan terkait Manuel Castells juga sebelumnya pernah di tulis di blog ini (baca: Masyarakat Informasi Dalam Perspektif Manuel Castells).
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini istilah smart city atau kota cerdas mulai semakin banyak diperbincangkan. Mulai dari pemerintah kota, kabupaten, pemerintah pusat, industri, akademisi hingga komunitas. Bahkan secara khusus ada forum tersendiri yang didirikan berkaitan dengan pengembangan smart city dengan tujuan untuk bertukar pengetahuan dan pengamanan dalam pengelolaan kota dan komunitas. Forum tersebut adalah Smart Indonesia Initiative Forum (SII-Forum) hasil rekomendasi e-Indonesia Initiatives (e-II) Forum yang sudah digagas selama 10 tahun.
Beberapa kota di Indonesia yang konon katanya sudah menerapkan smart city diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bogor dan Malang. Bahkan untuk kota Surabaya, menurut Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dikatakan bahwa telah lama menerapkan konsep smart city sejak tahun 2002. Oleh karena itu, Risma mengklaim kota Surabaya bisa dianggap sebagai pionir dalam penerapan konsep smart city itu di Indonesia. Beberapa yang sudah dilakukan misalnya e-budgeting, e-delivery, e-controlling, dan e-monitoring. Risma mencontohkan dalam e-monitoring misalnya dalam memantau situasi seluruh kota dari lalu lintas jalan raya hingga kondisi tempat pembuangan sampah.
Munculnya konsep smart city merupakan sebuah ide yang lahir karena pertumbuhan kota di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan kota itu timbul salah satunya karena laju urbanisasi yang tinggi dari desa ke kota. Menurut Basuki Hadimuljono, Menteri PU dan Perumahan Rakyat bahwa diperkirakan saat ini 50% warga Indonesia tinggal di perkotaan. Bahkan diprediksikan pada tahun 2050 arus urbanisasi ini akan terus meningkat sehingga warga yang tinggal di perkotaan akan mencapai 70%. Tingginya laju urbanisasi ini tentu akan membawa dampak tersendiri bagi perkembangan kota dimasa yang akan datang. Mulai dari pertumbuhan ekonomi kota hingga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat yang tinggal diperkotaan misalnya tempat tinggal yang nyaman, pasokan air bersih, kemacetan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, sampah, polusi udara, pasokan energi hingga tingkat kriminalitas. Oleh karenanya, hadirnya konsep smart city ini dianggap sebagai sebuah solusi untuk mengelola tata pemerintahan kota yang lebih cerdas, efektif dan efesien.
Konsep smart city yang sedang digalakan di berbagai kota besar Indonesia menarik sekali untuk dikaji mengingat masih sedikitnya jumlah penelitian yang dilakukan. Bahkan referensi berupa buku-buku khusus tentang smart city jumlahnya juga masih terbatas. Jika dalam beberapa tahun kedepan konsep smart city berhasil diterapkan secara baik dan ada bukti keberhasilan, maka ini akan menjadi solusi yang benar-benar bisa dimanfaatkan diseluruh kota yang ada di Indonesia. Namun demikian, implementasi smart city disetiap kota tentu akan berbeda karena faktor perbedaan kultural yang ada di setiap daerah tersebut.
Dalam paper ini, penulis akan mengulas konsep smart city secara umum yang ada di Indonesia. Kemudian menganalisisnya dengan perspektif dari Manuel Castells yang terkenal konsepnya tentang informasionalisme dan masyarakat jaringan (network society). Lantas, bagaimana tantangan dan prospek smart city kedepan khususnya dalam bingkai masyarakat informasi yang sedang terjadi saat ini.
Mengenal Smart City dan Konsepnya
Dalam bukunya Prof. Dr. Suhono (2015) yang berjudul Pengenalan dan Pengembangan Smart City, dikatakan bahwa smart city belum memiliki definisi yang baku. Bahkan menurut analisis Schafer setidaknya smart city memliki hingga 100 definisi. Definisi smart city bagi setiap negarapun berbeda namun, tetap memiliki konteks yang sama. Menurut Jonathan (2006) dalam Suhono (2015), smart city adalah pengembangan kota berbasis TIK, dimana tersedianya informasi dan infrastruktur terintegrasi antara pemerintah daerah dengan komponen bisnis, masyarakat, dan potensi daerah tersebut. Sedangkan menurut Manvrine, smart city merupakan konsep pengelolaan kota melalui penggabungan sebagai teknologi untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan memberikan masyarakat dengan hidup yang lebih layak (Suhono, 2015:12). Senada dengan IBM sebagai perusahaan yang pertama kali menciptakan konsep smart city, dikatakan bahwa smart city adalah sebuah kota yang instrumennya saling berhubungan dan berfungsi cerdas, dalam artian smart city menggunakan teknologi informasi untuk menjalankan roda kehidupan kota yang lebih efesien.
Di Indonesia, Prof. Suhono Supangkat seorang inisiator smart city dari ITB, secara garis besar mendefinisikan bahwa smart city adalah sebuah konsep kota yang membantu masyarakat yang berada di dalamnya dengan mengelola sumber daya yang ada dengan efesien dan memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat / lembaga didalamnya untuk melakukan kegiatan atau mengantisipasi kejadian yang tak terduga sebelumnya (Suhono, 201:2).
Melihat berbagai definisi smart city diatas, maka ada tiga hal yang menjadi titik pointnya, yakni pertama, pengelolaan kota. Lahirnya smart city ini didasari untuk mengelola kota agar lebih baik lagi mengingat laju urbanisasi yang tinggi sehingga timbul banyak permasalahan-permasalahan di perkotaan. Kedua, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam implementasinya. Ketiga, data-data yang diolah menjadi sebuah informasi sebagai bahan pengambilan keputusan. Smart city bukan hanya mengandalkan kecanggihan teknologi informasi yang digunakan, namun dari faktor sumber daya manusia dan sosial masyarakat akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam implementasinya. Disisi lain, tanpa adanya data-data yang diinput, maka hasilnya kosong sehingga output informasi sebagai dasar pengambilan keputusan mustahil akan dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam smart city selalu akan melibatkan tiga komponen penting diantaranya teknologi, proses dan manusia.
Keberhasilan smart city telah banyak diimplementasikan di berbagai kota besar di dunia seperti Amsterdam, Viena, dan Barcelona Lyon. Sedangkan di asia seperti Seoul, Banglore, Kyotodan Song Do. Untuk mengimplementasikan smart city, maka diperlukan evaluasi tingkat kematangan sebagai pengukuran tentang kondisi organisasi. Beberapa tools yang digunakan untuk mengukur tingkat kematangan ini misalnya CMMI (Capability Maturity Model Integration), QMM (Quality Management Maturity Gird), COBIT, Yonsei Governnance Maturiy Model dan IBM Intelligent Transport Assesment yang dikhususkan untuk mengukur tingkat kematangan smart city dalam ranah transportasi. Selain evaluasi tingkat kematangan, juga diperlukan roadmap smart city yang berfungsi agar pengembangan menjadi terarah sesuai dengan tujuan baik jangka pendek atau jangka panjang (Suhono, 2015:24).
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah mempunyai tools sendiri untuk mengukur tingkat kematangan dalam implementasi smart city? Konsep implementasi smart city di Indonesia sebagai pengembangannya lahirlah GSCM atau Garuda Smart City Model. Salah satu yang menjadi usulan terkenalnya adalah Konsep Smart City Melalui Solusi Cergas (cerdas dan gegas) artinya diharapkan cerdas dalam bertindak dan ada kecepatan solusi sehingga segera mengeksekusi suatu permasalahan terselesaikan dengan baik berdasarkan informasi yang terpercaya. Entitas dasarnya adalah sense, understand, dan control. Sense adalah sebuah rasa atau yang merasakan. Dalam hal ini adalah mereka para pengirim data dan informasi yang akan diolah. Understand adalah pemroses data atau informasi yang diolah lagi menjadi informasi baru. Control adalah yang memberikan prediksi yang harus segera direspon dengan cepat, tepat dan akurat. Layanan cergas terdiri dari tujuh komponen penting, yaitu infrastruktur fisik, sistem kota (perangkat lunak yang dibangun), soft infrastruktur (mencakup kepimpinan, regulasi), ekosistem (interaksi sektor publik, swasta, antar komunitas), stakeholder (mencakup pemkot, masyarakat, pelaku bisnis, akademisi, profesional, LSM, wisatawan), dan tujuannya.
Ada dua hal yang masih menjadi perhatian smart city di Indonesia, pertama menurut Dameri (2013) dalam Suhono (2015) bahwa kendati pengembangan konsep smart city terus mengalami peningkatan, namun sayangnya tidak dibarengi pemahaman tentang konsep smart city itu sendiri. Kedua, menurut Manvrine & Cochrane, implementasi smart city banyak mengalami kesulitan dikarenakan evaluasi yang masih minim (Suhono, 2013:28). Oleh karena itu munculnya GSCM adalah sebuah tools yang dapat mengatasi dua hal tersebut. Menurut Suhono (2015) GSCM adalah sebuah konsep atau metode awal yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kematangan pengembangan smart city dengan target penentuan kondisi eksisting, pengembangan rekomendasi, roadmap dan pemeringkatan.
GSCM menawarkan tiga aspek penting dalam fiturnya yaitu smart econonomy, smart society, dan smart environment. Dari ketiga fitur itu, kedepan akan dikembangkan dengan tiga komponen penting lainya, yaitu teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola smart city dan manusia. Hasil pengukuran tingkat kematangan melalui tools GSCM akan dibagi menjadi lima kategori, yakni tingkat pertama adalah Adhoc. Pada tingkatan ini hanya sekedar ikut-ikutan. Tingkat kedua adalah initiative yang telah memiliki master plan dan ada rencana untuk dijalankan. Tingkat ketiga adalah scattered. Pada tingkat ketiga ini sudah mulai dibangun namun, masih bersifat sektoral. Sedangkan tingkat keempat adalah integratif yaitu sudah mulai dilakukan dan adanya integrasi. Tingkat yang terakhir dan tertinggi adalah adalah smart yaitu sudah dilakukan pembangunan ekosistem smart city. Untuk lebih jelasnya berikut gambar level kematangan GSCM:
Sedangkan untuk dan tabel matrik indikator GSCM sebagai berikut:
Jika melihat tabel tingkat kematangan GSCM diatas, maka dapat diambil kesimpulan khususnya pada tingkatan tertinggi smart, salah satu point indikatornya adalah bahwa masyarakat memiliki kemampuan akses yang sangat baik dalam pengunaan teknologi informasi dan komunikasi. Indikator tersebut bisa untuk Smart Economy, Smart Society maupun Smart Environment. Sementara itu, jika implementasi smart city di kota Indonesia lalu dievaluasi menggunakan tools tersebut, dimanakah letak tingkat kematangannya? Misalnya Kota Surabaya yang sudah mendeklarasikan sebagai kota yang mengklaim sebagai kota pertama kali yang menerapkan smart city, maka perlu dilakukan evaluasi sejauh mana itu sudah berjalan. Sehingga setiap keberhasilan dalam implementasi smart city bisa menjadi model atau prototype yang bisa dikembangan lebih lanjut untuk kota-kota besar lainya yang ada di Indonesia.
Hal yang lebih menarik adalah dalam konsep anatomi kota dimana terdapat tiga elemen dasar dalam mendeskripsikan ekosistem kota, yaitu pertama, elemen struktur yang terdiri dari environment, infrastruktur dan built domain. Kedua, elemen interaksi yang terdiri dari tiga lapisan seperti fungsi urban, ekonomi, budaya dan informasi. Terkait informasi, maka sebuah kota menunjukan adanya informasi yang mengalir sehingga dapat diukur dan diatur. Ini berfungsi sebagai alat bantu evaluasi dan transformasi kota. Ketiga, elemen sosial. Semua elemen-elemen dalam anatomi kota ini digunakan sebagai bahan pemetaan dalam melihat permasalahan-permasalahan yang timbul untuk kemudian diterapkan dalam city analitycs.
Konsep city analitycs adalah pada dasarnya adalah bagaimana sebuah data-data diolah menjadi informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Arus informasi yang begitu besar akan menyebabkan kelebihan informasi (information overload). Jika tidak menggunakan sistem yang secara khusus dibuat untuk memroses data tersebut menjadi informasi, maka yang terjadi adalah keterlambatan dalam mengambil keputusan. Untuk itu diperlukan solusi dalam memecahkan masalah tersebut. Salah satunya yang pernah disosialisasikan dalam smart city yaitu adanya konsep OOKT (Observasi-Orientasi-Keputusan-Tindakan). OOKT adalah metode Knowledge Discovery Control Room yang merupakan pengenalan pola dan pengetahuan dari data-data yang sudah ada dan terkumpul dalam satu baris data (Suhono, 201: 21). Jika dikaitkan dengan city analytics, dimanakah letaknya dalam OOKT tersebut? Yaitu pada tingkatan orientasi dan keputusan. Selanjutnya city analytics ini akan berkaitan dengan big data, dimana semua kegiatan yang dilakukan oleh institusi dapat menghasilkan data yang diperoleh untuk kemudian diolah menjadi sebuah informasi. Berikut gambaran konsep OOKT:
Tulisan terkait Manuel Castells juga sebelumnya pernah di tulis di blog ini (baca: Masyarakat Informasi Dalam Perspektif Manuel Castells).
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini istilah smart city atau kota cerdas mulai semakin banyak diperbincangkan. Mulai dari pemerintah kota, kabupaten, pemerintah pusat, industri, akademisi hingga komunitas. Bahkan secara khusus ada forum tersendiri yang didirikan berkaitan dengan pengembangan smart city dengan tujuan untuk bertukar pengetahuan dan pengamanan dalam pengelolaan kota dan komunitas. Forum tersebut adalah Smart Indonesia Initiative Forum (SII-Forum) hasil rekomendasi e-Indonesia Initiatives (e-II) Forum yang sudah digagas selama 10 tahun.
Beberapa kota di Indonesia yang konon katanya sudah menerapkan smart city diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bogor dan Malang. Bahkan untuk kota Surabaya, menurut Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dikatakan bahwa telah lama menerapkan konsep smart city sejak tahun 2002. Oleh karena itu, Risma mengklaim kota Surabaya bisa dianggap sebagai pionir dalam penerapan konsep smart city itu di Indonesia. Beberapa yang sudah dilakukan misalnya e-budgeting, e-delivery, e-controlling, dan e-monitoring. Risma mencontohkan dalam e-monitoring misalnya dalam memantau situasi seluruh kota dari lalu lintas jalan raya hingga kondisi tempat pembuangan sampah.
Munculnya konsep smart city merupakan sebuah ide yang lahir karena pertumbuhan kota di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan kota itu timbul salah satunya karena laju urbanisasi yang tinggi dari desa ke kota. Menurut Basuki Hadimuljono, Menteri PU dan Perumahan Rakyat bahwa diperkirakan saat ini 50% warga Indonesia tinggal di perkotaan. Bahkan diprediksikan pada tahun 2050 arus urbanisasi ini akan terus meningkat sehingga warga yang tinggal di perkotaan akan mencapai 70%. Tingginya laju urbanisasi ini tentu akan membawa dampak tersendiri bagi perkembangan kota dimasa yang akan datang. Mulai dari pertumbuhan ekonomi kota hingga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat yang tinggal diperkotaan misalnya tempat tinggal yang nyaman, pasokan air bersih, kemacetan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, sampah, polusi udara, pasokan energi hingga tingkat kriminalitas. Oleh karenanya, hadirnya konsep smart city ini dianggap sebagai sebuah solusi untuk mengelola tata pemerintahan kota yang lebih cerdas, efektif dan efesien.
Konsep smart city yang sedang digalakan di berbagai kota besar Indonesia menarik sekali untuk dikaji mengingat masih sedikitnya jumlah penelitian yang dilakukan. Bahkan referensi berupa buku-buku khusus tentang smart city jumlahnya juga masih terbatas. Jika dalam beberapa tahun kedepan konsep smart city berhasil diterapkan secara baik dan ada bukti keberhasilan, maka ini akan menjadi solusi yang benar-benar bisa dimanfaatkan diseluruh kota yang ada di Indonesia. Namun demikian, implementasi smart city disetiap kota tentu akan berbeda karena faktor perbedaan kultural yang ada di setiap daerah tersebut.
Dalam paper ini, penulis akan mengulas konsep smart city secara umum yang ada di Indonesia. Kemudian menganalisisnya dengan perspektif dari Manuel Castells yang terkenal konsepnya tentang informasionalisme dan masyarakat jaringan (network society). Lantas, bagaimana tantangan dan prospek smart city kedepan khususnya dalam bingkai masyarakat informasi yang sedang terjadi saat ini.
Mengenal Smart City dan Konsepnya
Dalam bukunya Prof. Dr. Suhono (2015) yang berjudul Pengenalan dan Pengembangan Smart City, dikatakan bahwa smart city belum memiliki definisi yang baku. Bahkan menurut analisis Schafer setidaknya smart city memliki hingga 100 definisi. Definisi smart city bagi setiap negarapun berbeda namun, tetap memiliki konteks yang sama. Menurut Jonathan (2006) dalam Suhono (2015), smart city adalah pengembangan kota berbasis TIK, dimana tersedianya informasi dan infrastruktur terintegrasi antara pemerintah daerah dengan komponen bisnis, masyarakat, dan potensi daerah tersebut. Sedangkan menurut Manvrine, smart city merupakan konsep pengelolaan kota melalui penggabungan sebagai teknologi untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan memberikan masyarakat dengan hidup yang lebih layak (Suhono, 2015:12). Senada dengan IBM sebagai perusahaan yang pertama kali menciptakan konsep smart city, dikatakan bahwa smart city adalah sebuah kota yang instrumennya saling berhubungan dan berfungsi cerdas, dalam artian smart city menggunakan teknologi informasi untuk menjalankan roda kehidupan kota yang lebih efesien.
Di Indonesia, Prof. Suhono Supangkat seorang inisiator smart city dari ITB, secara garis besar mendefinisikan bahwa smart city adalah sebuah konsep kota yang membantu masyarakat yang berada di dalamnya dengan mengelola sumber daya yang ada dengan efesien dan memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat / lembaga didalamnya untuk melakukan kegiatan atau mengantisipasi kejadian yang tak terduga sebelumnya (Suhono, 201:2).
Melihat berbagai definisi smart city diatas, maka ada tiga hal yang menjadi titik pointnya, yakni pertama, pengelolaan kota. Lahirnya smart city ini didasari untuk mengelola kota agar lebih baik lagi mengingat laju urbanisasi yang tinggi sehingga timbul banyak permasalahan-permasalahan di perkotaan. Kedua, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam implementasinya. Ketiga, data-data yang diolah menjadi sebuah informasi sebagai bahan pengambilan keputusan. Smart city bukan hanya mengandalkan kecanggihan teknologi informasi yang digunakan, namun dari faktor sumber daya manusia dan sosial masyarakat akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam implementasinya. Disisi lain, tanpa adanya data-data yang diinput, maka hasilnya kosong sehingga output informasi sebagai dasar pengambilan keputusan mustahil akan dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam smart city selalu akan melibatkan tiga komponen penting diantaranya teknologi, proses dan manusia.
Keberhasilan smart city telah banyak diimplementasikan di berbagai kota besar di dunia seperti Amsterdam, Viena, dan Barcelona Lyon. Sedangkan di asia seperti Seoul, Banglore, Kyotodan Song Do. Untuk mengimplementasikan smart city, maka diperlukan evaluasi tingkat kematangan sebagai pengukuran tentang kondisi organisasi. Beberapa tools yang digunakan untuk mengukur tingkat kematangan ini misalnya CMMI (Capability Maturity Model Integration), QMM (Quality Management Maturity Gird), COBIT, Yonsei Governnance Maturiy Model dan IBM Intelligent Transport Assesment yang dikhususkan untuk mengukur tingkat kematangan smart city dalam ranah transportasi. Selain evaluasi tingkat kematangan, juga diperlukan roadmap smart city yang berfungsi agar pengembangan menjadi terarah sesuai dengan tujuan baik jangka pendek atau jangka panjang (Suhono, 2015:24).
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah mempunyai tools sendiri untuk mengukur tingkat kematangan dalam implementasi smart city? Konsep implementasi smart city di Indonesia sebagai pengembangannya lahirlah GSCM atau Garuda Smart City Model. Salah satu yang menjadi usulan terkenalnya adalah Konsep Smart City Melalui Solusi Cergas (cerdas dan gegas) artinya diharapkan cerdas dalam bertindak dan ada kecepatan solusi sehingga segera mengeksekusi suatu permasalahan terselesaikan dengan baik berdasarkan informasi yang terpercaya. Entitas dasarnya adalah sense, understand, dan control. Sense adalah sebuah rasa atau yang merasakan. Dalam hal ini adalah mereka para pengirim data dan informasi yang akan diolah. Understand adalah pemroses data atau informasi yang diolah lagi menjadi informasi baru. Control adalah yang memberikan prediksi yang harus segera direspon dengan cepat, tepat dan akurat. Layanan cergas terdiri dari tujuh komponen penting, yaitu infrastruktur fisik, sistem kota (perangkat lunak yang dibangun), soft infrastruktur (mencakup kepimpinan, regulasi), ekosistem (interaksi sektor publik, swasta, antar komunitas), stakeholder (mencakup pemkot, masyarakat, pelaku bisnis, akademisi, profesional, LSM, wisatawan), dan tujuannya.
Ada dua hal yang masih menjadi perhatian smart city di Indonesia, pertama menurut Dameri (2013) dalam Suhono (2015) bahwa kendati pengembangan konsep smart city terus mengalami peningkatan, namun sayangnya tidak dibarengi pemahaman tentang konsep smart city itu sendiri. Kedua, menurut Manvrine & Cochrane, implementasi smart city banyak mengalami kesulitan dikarenakan evaluasi yang masih minim (Suhono, 2013:28). Oleh karena itu munculnya GSCM adalah sebuah tools yang dapat mengatasi dua hal tersebut. Menurut Suhono (2015) GSCM adalah sebuah konsep atau metode awal yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kematangan pengembangan smart city dengan target penentuan kondisi eksisting, pengembangan rekomendasi, roadmap dan pemeringkatan.
GSCM menawarkan tiga aspek penting dalam fiturnya yaitu smart econonomy, smart society, dan smart environment. Dari ketiga fitur itu, kedepan akan dikembangkan dengan tiga komponen penting lainya, yaitu teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola smart city dan manusia. Hasil pengukuran tingkat kematangan melalui tools GSCM akan dibagi menjadi lima kategori, yakni tingkat pertama adalah Adhoc. Pada tingkatan ini hanya sekedar ikut-ikutan. Tingkat kedua adalah initiative yang telah memiliki master plan dan ada rencana untuk dijalankan. Tingkat ketiga adalah scattered. Pada tingkat ketiga ini sudah mulai dibangun namun, masih bersifat sektoral. Sedangkan tingkat keempat adalah integratif yaitu sudah mulai dilakukan dan adanya integrasi. Tingkat yang terakhir dan tertinggi adalah adalah smart yaitu sudah dilakukan pembangunan ekosistem smart city. Untuk lebih jelasnya berikut gambar level kematangan GSCM:
Gambar
1. Level Kematangan GSCM (Suhono,
2013:34)
|
Tingkat
|
Smart Economy
|
Smart Society
|
Smart Environment
|
Ad Hoc
|
· Pertumbuhan
ekonomi sangat rendah
· Dukungan
layanan TIK sebagian besar masih bertumpu pada proses Manuel
· Sebagian
besar layanan tidak tidak didukung dengan rencana pengembangan dan
pengelolaan yang baik
· Masyarakat
tidak memiliki kemampuan dan akses terhadap TIK
|
· Kehidupan
sosialisasi yang tidak layak
· Keamanan
dan kenyamanan yang tidak dapat ditoleransi
· Dukungan
layanan TIK sebagian besar masih bertumpu pada proses Manuel
· Sebagian
besar laynan tidak dikukung dengan rencana pengelolaan yang baik
· Masyarakat
tidak memiliki kemampuan dan akses terhadap TIK
|
· Lingkungan
yang tidak layak huni (intolerable)
· Dukungan
layanan TIK sebagian besar masih bertumpu pada proses Manuel
· Sebagian
besar layanan tidak didukung dengan rencana pengelolaan yang baik
· Masyarakat
tidak memiliki kemampuan dan akses terhadap TIK
|
Initiative
|
· Pertumbuhan
ekonomi rendah
· Dukungan
TIK sudah mulai diperhitungkan, meskipun secara parsial
· Mulai
terdapat rencana pengelolaan tapi implementasi / penerapan belum maksimal
· Masyarkat
kurang memiliki kemampuan dan akses terhadap TIK
|
· Kehidupan
sosial tidak layak
· Keamanan
dan kenyamanan yang tidak diinginkan
· Dukungan
TIK sudah mulai diperhtungkan, meskipun secara parsial
· Mulai
terdapat rencana pengelolaan tapi tapi implementasi / penerapan belum maksimal
· Masyarkat
kurang memiliki kemampuan dan akses terhadap TIK
|
· Lingkungan
yang tidak layak (undesireable)
· Dukungan
TIK sudah mulai diperhtungkan, meskipun secara parsial
· Mulai
terdapat rencana pengelolaan tapi tapi implementasi / penerapan belum maksimal
· Masyarkat
kurang memiliki kemampuan dan akses terhadap TIK
|
Scattered
|
· Pertumbuhan
ekonomi sedang
· Dukungan
layanan TIK mulai besar tapi aplikasi dan data masih tersebar
· Rencana
pengelolaan seluruhnya diimplementasikan namun belum didukung operasional
yang baik
· Masyarakat
cukup memiliki dan akses terhadap TIK
|
· Kehidupan
sosial kurang layak. Permasalahan uncomfortable
· Dukungan
layanan TIK mulai besar tapi aplikasi dan data masih tersebar
· Rencana
pengelolaan seluruhnya diimplementasikan namun belum didukung operasional
yang baik
· Masyarakat
cukup memiliki dan akses terhadap TIK
|
· Lingkungan
yang kurang layak huni (uncomfortable)
· Dukungan
layanan TIK mulai besar tapi aplikasi dan data masih tersebar
· Rencana
pengelolaan seluruhnya diimplementasikan namun belum didukung operasional
yang baik
· Masyarakat
cukup memiliki dan akses terhadap TIK
|
Integrative
|
·
Pertumbuhan ekonomi tinggi
·
Dukungan layanan TIK mulai
memperlihatkan kolaborasi antar sistem
·
Tatakelola dengan rencana can
pengembangan serta operasional dan pengawasan yang mulai menyeluruh
·
Masyarakat memiliki kemampuan
akses yang baik dalam penggunaan TIK
|
·
Kehidupan sosial cukup layak aman
dan nyaman, permasalahan telorable
·
Dukungan layanan TIK mulai
memperlihatkan kolaborasi antar sistem
·
Tatakelola dengan rencana can
pengembangan serta operasional dan pengawasan yang mulai menyeluruh
·
Masyarakat memiliki kemampuan
akses yang baik dalam penggunaan TIK
|
·
Lingkungan yang cukup layak huni
dengan permasalahan lingkungan telorable
·
Dukungan layanan TIK mulai
memperlihatkan kolaborasi antar sistem
·
Tatakelola dengan rencana can
pengembangan serta operasional dan pengawasan yang mulai menyeluruh
·
Masyarakat memiliki kemampuan
akses yang baik dalam penggunaan TIK
|
Smart
|
·
Pertumbuhan ekonomi sangat tinggi
·
Dukungan layanan, infrastruktur
dan tatakelola yang menghasilkan layanan terintegrasi yang diakses secara ubiquotus
·
Tatakelola yang baik dengan
rencana, pengembangan, operasional dan pengawasan secara menyeluruh
·
Masyarakat memiliki kemampuan dan
akses yang sangat baik dalam penggunaan TIK
|
·
Kehidupan sosial layak aman dan
nyaman, permasalahan acceptable
·
Dukungan layanan, infrastruktur
dan tatakelola yang menghasilkan layanan terintegrasi yang diakses secara ubiquotus
·
Tatakelola dengan rencana pengembangan serta operasional dan
pengawasan yang mulai menyeluruh
·
Masyarakat memiliki kemampuan
akses yang sangat baik dalam penggunaan TIK
|
·
Lingkungan yang cukup layak huni
dengan permasalahan lingkungan acceptable
·
Dukungan layanan, infrastruktur
dan tatakelola yang menghasilkan layanan terintegrasi yang diakses secara ubiquotus
·
Tatakelola dengan rencana pengembangan serta operasional dan
pengawasan yang mulai menyeluruh
·
Masyarakat memiliki kemampuan
akses yang sangat baik dalam penggunaan TIK
|
Tabel 1. Tingkat Kematangan GSCM (Suhono, 2013:34)
Jika melihat tabel tingkat kematangan GSCM diatas, maka dapat diambil kesimpulan khususnya pada tingkatan tertinggi smart, salah satu point indikatornya adalah bahwa masyarakat memiliki kemampuan akses yang sangat baik dalam pengunaan teknologi informasi dan komunikasi. Indikator tersebut bisa untuk Smart Economy, Smart Society maupun Smart Environment. Sementara itu, jika implementasi smart city di kota Indonesia lalu dievaluasi menggunakan tools tersebut, dimanakah letak tingkat kematangannya? Misalnya Kota Surabaya yang sudah mendeklarasikan sebagai kota yang mengklaim sebagai kota pertama kali yang menerapkan smart city, maka perlu dilakukan evaluasi sejauh mana itu sudah berjalan. Sehingga setiap keberhasilan dalam implementasi smart city bisa menjadi model atau prototype yang bisa dikembangan lebih lanjut untuk kota-kota besar lainya yang ada di Indonesia.
Hal yang lebih menarik adalah dalam konsep anatomi kota dimana terdapat tiga elemen dasar dalam mendeskripsikan ekosistem kota, yaitu pertama, elemen struktur yang terdiri dari environment, infrastruktur dan built domain. Kedua, elemen interaksi yang terdiri dari tiga lapisan seperti fungsi urban, ekonomi, budaya dan informasi. Terkait informasi, maka sebuah kota menunjukan adanya informasi yang mengalir sehingga dapat diukur dan diatur. Ini berfungsi sebagai alat bantu evaluasi dan transformasi kota. Ketiga, elemen sosial. Semua elemen-elemen dalam anatomi kota ini digunakan sebagai bahan pemetaan dalam melihat permasalahan-permasalahan yang timbul untuk kemudian diterapkan dalam city analitycs.
Konsep city analitycs adalah pada dasarnya adalah bagaimana sebuah data-data diolah menjadi informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Arus informasi yang begitu besar akan menyebabkan kelebihan informasi (information overload). Jika tidak menggunakan sistem yang secara khusus dibuat untuk memroses data tersebut menjadi informasi, maka yang terjadi adalah keterlambatan dalam mengambil keputusan. Untuk itu diperlukan solusi dalam memecahkan masalah tersebut. Salah satunya yang pernah disosialisasikan dalam smart city yaitu adanya konsep OOKT (Observasi-Orientasi-Keputusan-Tindakan). OOKT adalah metode Knowledge Discovery Control Room yang merupakan pengenalan pola dan pengetahuan dari data-data yang sudah ada dan terkumpul dalam satu baris data (Suhono, 201: 21). Jika dikaitkan dengan city analytics, dimanakah letaknya dalam OOKT tersebut? Yaitu pada tingkatan orientasi dan keputusan. Selanjutnya city analytics ini akan berkaitan dengan big data, dimana semua kegiatan yang dilakukan oleh institusi dapat menghasilkan data yang diperoleh untuk kemudian diolah menjadi sebuah informasi. Berikut gambaran konsep OOKT:
Gambar
2. Konsep OOKT (Suhono, 2015:21)
|
Kegiatan dalam City Analitycs, pada dasarnya hanya bisa berjalan dalam alur informasi yang mengalir. Artinya di era masyarakat informasi sekarang ini, bukan tidak mungkin dapat berjalan dengan baik. Proses kegiatan City analytics dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar
3. Alur Analisis Data (Suhono, 2015:51)
|
Pembentukan data (data generation) ini meliputi bagaimana data itu diciptakan. Di era masyarakat informasi ini, pada intinya manusia hidup selalu menghasilkan data. Apapun jenis datanya semuanya dikumpulkan. Bahkan data-data dari media sosialpun bisa menjadi potensi untuk proses penghimpunan tersebut. Kemudian, data yang sudah terhimpun itu di ekstraksi (data extraction). Ini meliputi bagaimana data itu dikumpulkan dari penghasil data. Dalam tahap ekstrasi data ini, semua format perbedaan data dapat diselesaikan untuk kemudian siap dianalisis (data analysis). Sedangkan pada tahap analisis data menggunakan metode atau rumusan tertentu sesuai dengan objek yang sedang dianalisis.
Kemajuan teknologi informasi dalam pengolahan data dapat memungkinkan untuk melakukan itu. Tahap akhir visualisasi atau pelaporan (visualization and reporting). Inilah tahapan yang paling penting, dimana data yang sudah diolah dan dianalisis akan ditampilkan dalam bentuk visual yang mudah dipahami sehingga mudah dan cepat dalam untuk mengambil keputusan. Dengan demikan, hasil pelaporan itu adalah sebuah informasi yang sangat penting bagi para pemegang keputusan ditengah situasi mereka harus bertindak secara cepat, efektif dan efesien.
Dalam smart city, konsep OOKT (Observasi-Orientasi-Keputusan-Tindakan) ini sangat penting. Oleh karena itu, agar dapat diimplementasikan, maka diperlukan sebuah platform yang dibuat sesuai dengan kebutuhan. Platform inilah yang mulai banyak dibuat oleh perusahaan, perguruan tinggi bahkan komunitas. Sebagai contoh Institut Teknologi Bandung yang membuat smart system platform (SSP) yang disebutnya juga sebagai e-blusukan. Platform tersebut bisa digunakan dalam suatu virtual operation room dengan infrastruktur cloud computing dan sensor (blusukan) komponen kota, kemudian diproses di cloud agar dimengerti (understanding) oleh stakeholder kota yang selanjutnya melakukan 'action' untuk solusi persoalan kota (smartcityid, vol 1, Juli 2015).
Menurut Suhono (2015) SSP diciptakan sebagai tempat pertukaran informasi dan tempat integrasi data-data dari basis data dari Satuan Kerja Prangkat Daerah (SKPD), Pemerintah Kota (Pemkot), atau pun dari luar server seperti Google atau open source lainnya yang dihadirkan jadi satu lalau dianalisis dan dijadikan informasi yang bermanfaat untuk mengambil keputusan. Beberapa komponen dalam SSP tersebut misalnya berisi informasi penting mengenai transportasi, kesehatan, pendidikan, energi, perumahan, identitas, dan perniagaan.
Smart City, Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan (Network Society)
Dua tokoh yang pionir dalam mengkaji perkembangan teknologi informasi adalah Daniel Bell (1977) dan Manuel Castells (1996). Keduanya juga termasuk ahli dalam perkembangan teori masyarakat informasi. Jika Bell menyebut masyarakat informasi dengan sebutan masyarakat pasca-industrial, maka Castells menyebutnya dengan istilah “zaman informasi”. Bagi Castells, dikatakan bahwa kemajuan teknologi informasi digital telah menyediakan “dasar materi” bagi “perluasan pervasive” dari apa yang disebut bentuk jejaring sosial dari organisasi dalam setiap keadaan struktur sosial (Rahma Sugihartati, 2014:39).
Pervasive adalah suatu bentuk dimana teknologi telah menyatu terhadap pemakai teknologi dan lingkungannya sehingga teknologi tersebut bukan suatu hal yang khusus. Bisa dikatakan teknologi tersebut sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Misalnya penggunaan smartphone oleh seseorang untuk aktivitasnya sehari-hari. Ketika smartphone tersebut ketinggalan, maka akan menimbulkan ketidakpastian perasaan. Dalam pandangan Castells, teknologi komputer dan aliran informasi telah mengubah dunia bahkan hingga menimbulkan permasalahan pada bidang sosial, ekonomi, dan budaya.
Istilah informasionalisme yang dikenalkan Castells adalah suatu mode perkembangan dimana sumber utama produktivitas terletak pada optimalisasi kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi. Jadi, tidak hanya bardasarkan pada kekuatan modal. Seperti halnya konsep smart city, pada dasarnya adalah memandang sebuah informasi dan pengetahuan memainkan peranan penting dalam kepengelolaan kota. Menurut Castells (2000) dalam Rahma (2014), bahwa penerapan pengetahuan (knowledge) dan informasi menghasilkan suatu proses inovasi teknik yang sifatnya akumulatif serta berpengaruh signifikan terhadap organisasi sosial. Sehingga perkembangan masyarakat diakhir abad ke-19 yang dipengaruhi oleh perkembangan informasi dan teknologi informasi disebut sebagai masyarakat jaringan (network society). Apa yang menjadi cirinya? Pertama, hilangnya kuasa terpusat dan hierarki yang dilembagakan. Walaupun dalam konteks smart city pemegang keputusan berada pada pemerintah daerah namun demikian, tanpa adanya partisipasi masyarakat sebagai pengirim data, fakta dan informasi, maka pada hakekatnya masyarakat juga memiliki kuasa dan perannya tersendiri. Kedua, jaringan ekonomi dan politik diarahkan oleh organisasi yang diatur sebagai jaringan informasi. Konsep smart city juga menawarkan ini. Di dalam bidang ekonomi, aplikasi perniagaan dalam smart city begitu penting sekali. Contoh kongkritnya adalah iklan berbasis lokasi dan e-tourism. Ketiga, internet merupakan komunikasi terdesentralisasi. Ini menjadi alat bagi interaksi komunitas. Di dalam smart city, interaksi antar komunitas mempunyai posisi yang tidak bisa diremehkan. Disinilah akan tumbuh informasi dan pengetahuan dengan apa yang disebut oleh Castells sebagai budaya virtualitas nyata.
Menurut Castells (2000), dalam masyarakat informasional yang mengacu pada dasar teknologi informasi teridiri dari lima karakteristik. Pertama, informasi merupakan bahan baku ekonomi. Kedua, teknologi informasi memiliki efek luas pada masyarakat dan individu. Ketiga, teknologi informasi memberikan kemampuan pengolahan informasi yang memungkinkan logika jaringan diterapkan pada organisasi dan proses ekonomi. Keempat, teknologi informasi dan logik jaringan memungkinkan fleksibilitas yang jauh lebih besar, dengan konsekuensi bahwa proses, organisasi, dan lembaga dengan mudah dapat diubah dan bentuk-bentuk baru terus-menerus diciptakan. Kelima, teknologi individu telah mengerucut menjadi suatu sistem terpadu (Rahma, 2014:63).
Lima karakteristik yang diungkapkan Castells tersebut, pada dasarnya menjadi karakteristik yang ada pada konsep smart city. Perekonomian perkotaan dengan memanfaatkan sumber daya / potensi kota menjadi dasar bagaimana sebuah kota dapat tumbuh menjadi lebih baik atau justru memburuk. Disinilah pentingnya implementasi smart city didalam salah satu komponenya yaitu smart economy. Konsep OOKT dalam smart city merupakan bentuk dimana pengolahan data dan informasi dengan menggunakan kecanggihan teknologi informasi dapat dilakukan. Pada sisi lain, kita bisa melihat, meskipun kepemilikan smartphone oleh tiap individu bersifat pribadi, namun dalam smartphone tersebut berisi banyak informasi yang mengerucut pada sistem terpadu. Mulai dari informasi transportasi, kesehatan, pendidikan, energi, perumahan, identitas, dan perniagaan. Sebagai contoh misalnya dalam penerapan solusi perumahan seperti otomisasi rumah. Seseorang hanya dengan menggunakan smartphone atau tablet yang terkoneksi dengan internet bisa mematikan air dalam tandon yang penuh. Contoh lain misalnya dibidang kesehatan, selain menyediakan banyak informasi mengenai kesehatan, masyarakat juga bisa berperan sebagai pengirim data atau informasi penting. Misalnya kemampuan masyarakat sebagai kontributor untuk mengirimkan informasi yang terjadi di lingkungan sekitarnya terkait gejala dan wabah penyakit. Ini berfungsi sebagai penerima pengingat informasi kesehatan terhadap perubahan kesehatan yang terdapat di lingkungan sekitarnya (Suhono, 201:90). Di dalam masyarakat jaringan, dunia benar-benar seperti mengecil, tanpa batas ruang dan waktu. Castells menyebutnya “waktu tanpa batas waktu”. Antara satu sama lain akan saling berkomunikasi dan terhubung dengan jaringan internet. Inilah yang dinamakan Internet of Things (IoT).
Pemikiran Manuel Castells tentang implikasi dari pekembangan teknologi informasi bukan hanya dilihat dari kemunculan kultur baru dalam masyarakat yang merubah struktur sosial secara fundamental melainkan dalam konsep luas yang dihubungkan dengan tumbuhnya kapitalisme baru hingga muncul istilah-istilah seperti kapitalisme informasional, perekonomian global, perekonomian informasional, jaringan perusahaan, polarisasi dan eksklusi sosial, bahkan hingga menyangkut timbulnya gerakan-gerakan baru dalam alam maya. Castells menyebutnya mobilitas imajinatif dan perjalanan virtual. Castells memprediksikan pergerakan itu datang dari kalangan aktivitas peduli lingkungan dan feminis akibat dari dominasi kapitalisme global. Hal termudah adalah perempuan akan resisten mengembangkan bentuk perlawanan terhadap ideologi patriarki karena berhadapan dengan kontradiksi antara meningkatnya pengetahuan dan pendidikan perempuan dan kesempatan ekonomi yang dimungkinkan oleh informasionalisme dan kukuhnya penindasan patriarkal (Rahma, 2014: 78). Namun, jika dikaitkan dengan konsep smart city, ada yang lebih menarik dari konsep yang ditawarkan Castells, yaitu tentang “ruang mengalir” (space of flows). Castells (2000), menggunakan konsep tersebut untuk menganalisis pola lokasi yang terbangun dari suatu kegiatan operasi manufaktur teknologi tinggi dan jejaring dari bisnis modern diseluruh dunia yang menghasilkan suatu sistem yang disebut sebagai “kota global” atau global city (Rahma, 2014:69). Smart city adalah konsep yang berada pada tataran sektoral didalam negara, sedangkan global city pada tataran yang mendunia.
Tantangan dan Prospek
Implementasi konsep smart city di kota-kota besar Indonesia, dapat dipastikan akan banyak menemui berbagai macam masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah tersebut merupakan tantangan yang harus dicarikan solusi penyelesaiannya. Secara garis besar ada beberapa tantangan yang harus dilalui untuk keberhasilan dalam implementasi smart city.
Pertama, terkait kebijakan. Pada dasarnya ketika akan implementasi smart city disebuah kota maka, kebijakan adalah sebuah langkah awal yang membuka kesempatan untuk masuk ke dalamnya. Kebijakan dalam hal ini, baik dari tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Misalnya kebijakan mencakup dukungan Open Data di sebuah kota. Menurut Suhono (2015), salah satu kesuksesan dalam implementasi city analytics harus mendapatkan dukungan secara signifikan oleh implementasi Open Data di kota tersebut. Open Data yang merupakan inisiatif untuk membuka akses data pemerintah kepada masyarakat dan pihak-pihak swasta pada dasarnya memberi keluasan bagi munculnya inovasi-inovasi baru yang meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat. Sementara itu, kebijakan lain mengenai pemanfaatan cloud computing dalam smart city. Menurut Hermin Indah Wahyuni (2013), cloud computing masih menemui tantangan baik dari sisi regulasi dan isu strategis diantaranya:
Pertama, terkait kebijakan. Pada dasarnya ketika akan implementasi smart city disebuah kota maka, kebijakan adalah sebuah langkah awal yang membuka kesempatan untuk masuk ke dalamnya. Kebijakan dalam hal ini, baik dari tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Misalnya kebijakan mencakup dukungan Open Data di sebuah kota. Menurut Suhono (2015), salah satu kesuksesan dalam implementasi city analytics harus mendapatkan dukungan secara signifikan oleh implementasi Open Data di kota tersebut. Open Data yang merupakan inisiatif untuk membuka akses data pemerintah kepada masyarakat dan pihak-pihak swasta pada dasarnya memberi keluasan bagi munculnya inovasi-inovasi baru yang meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat. Sementara itu, kebijakan lain mengenai pemanfaatan cloud computing dalam smart city. Menurut Hermin Indah Wahyuni (2013), cloud computing masih menemui tantangan baik dari sisi regulasi dan isu strategis diantaranya:
- Letak penyimpanan data fisik atau lokasi data center
- Tingkat kerahasiaan (privacy) untuk data publik atau pun pemerintahan. Diperlukan sertifikasi untuk melindungi kepentingan umum.
- Keamanan data diperlukan sertifikasi untuk menetapkan standar keamanan minimal
- Auditing, perlunya transparansi dan akses untuk auditor pemerintah
- Outsourcing, diperlukan aturan mengenai outsourcing infrastruktur IT
- Menumbuhkembangkan industri Komputasi Awan Nasional
- Tingkat ketersediaan dan keandalan tenaga listrik bisa menjadi faktor penghambat bila tidak dibenahi.
Tantangan lainya menurut analisis Frost & Sullivian Indonesia. Dikatakan bahwa teknologi cloud computing harus mensyaratkan ketersediaan dan konektivitas internet yang cepat. Kemudian rendahnya tingkat kesadaran tentang cloud computing sehingga manfaat nyata dari penerapannya masih belum jelas bagi kebanyakan pihak dan minimnya publikasi di media massa (Hermin, 2013: 173).
Kedua, masih adanya gap kesenjangan informasi. Ini diakibatkan karena belum meratanya persebaran internet di seluruh wilayah Indonnesia, apalagi dikawasan timur. Hal tersebut pernah disingguh oleh Menkominfo, Rudiantara. Menurut beliau bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pemerataan penyebaran internet di Indonsia, yakni coverage (cakupan), kapasitas, dan affordability (keterjangkauan harga). Lebih lanjut beliau mengatakan masalah cakupan selalu menyoal luasnya wilayah Indonesia secara geografis dan masalah infrakstrukur telekomunikasi yang belum menjangkau seluruh kawasan. Kemudian soal kapasitas tak bisa lepas dari kesenjangan daerah pedesaan dan kota besar. Dan soal affordability juga menyoroti ketimpangan tarif Internet di kawasan Barat dan Timur (CNN Indonesia, 25/9/2015). Persebaran internet yang belum merata bisa berimplikasi terhadap jumlah pengguna internet yang ada. Berikut berikut gambar jumlah pengguna internet berdasarkan propinsi berdasarkan data profil pengguna internet 2014 dari Puskakom UI dan APJII:
Ketiga, kultur masyarakat yang berbeda di setiap wilayah. Sebagai negara kepalauan, Indonesia memiliki banyak ragam kebudayaan dari mulai suku, bahasa, dan pola hidup. Perbedaan budaya di kota-kota yang ada di Indonesia ini menjadikan konsep smart city harus menyesuaikan kondisi dengan sosial budaya setempat. Smart city bukan hanya sekedar pemanfaatan kecanggihan teknologi informasi, melainkan faktor manusia dan budaya juga tak luput menjadi perhatiannya. Jika melihat tabel matrik indikator GSCM diatas, maka setiap kota yang ada diseluruh wilayah Indonesia akan mempunyai tingkatan tersendiri. Hal termudah yang dapat dilihat adalah kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan TIK. Masyarakat dikota-kota diwilayah timur tentu akan berbeda dalam hal kemampuan pemanfaatan TIK dengan masyarakat di kota-kota di wilayah barat.
Selain beberapa tantangan, smart city juga mempunyai prospek yang cukup baik untuk masa yang akan datang. Kendati, persebaran internet belum merata, namun kita juga tidak menutup mata bahwa secara akumulasi pengguna dan penetrasi internet Indonesia terus mengalami kenaikan layaknya tangga. Berikut data jumlah dan penetrasi pengguna internet di Indonesia dari tahun 2005-2014:
Disisi lain, survei yang dilakukan APJII terhadap responden yang memberikan jawaban lebih dari satu menunjukan bahwa perangkat yang digunakan untuk mengakses internet paling banyak menggunakan telepon seluler hingga 85%. Ini adalah prospek untuk smat city dimana akses internet menjadi kunci dalam aliran data dan informasi selain dari aspek-aspek penting lainya.
Selanjutnya prospek yang paling menarik adalah tumbuhnya inovasi-inovasi baru di masyarakat ketika Open Data sudah dilakukan. Lebih menarik lagi apabila konsep smart city telah tehubung antar satu kota dengan kota lainnya. Informasi dan pengetahuan menjadi basis dalam perkembangan ekonomi secara makro, terlebih saat ini pemerintah sedang menggalakan ekonomi kreatif berintikan pada kreativitas yang didukung oleh banyaknya informasi dan memadukannya dengan seni dan teknologi. Dalam Wikipedia, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai era baru ekonomi setelah ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.
Penutup
Dalam persepektif Manuel Castells, konsep smart city adalah salah satu produk dari majunya perkembangan teknologi informasi. Cloud computing dan big data dalam smart city merupakan pemanfaatan dari kemajuan teknologi informasi yang lebih canggih dan memudahkan. Konsep smart city adalah gambaran masyarakat jaringan yang saling terhubung atau terintegrasi antar satu dengan yang lainya. Aliran data, informasi dan pengetahuan adalah yang menjadi basis utamanya dalam pengambilan keputusan. Namun demikian, beberapa tantangan dalam smart city meliputi kebijakan, adanya kesenjangan informasi, dan perbedaan kultural antar kota yang ada di Indonesia. Disisi lain, prospek dari smart city juga tidak kalah menarik apabila dilihat dari akumulasi jumlah pengguna dan penetrasi internet dari tahun ketahun yang terus meningkat, banyaknya pengguna yang memanfaatkan akses internet melalui perangkat nirkabel, dan tumbuhnya inovasi-inovasi baru dari kebijakan Open Data. Kondisi tersebut akan mendukung ekonomi kreatif berintikan pada kreativitas yang didukung oleh banyaknya informasi dan memadukannya dengan seni dan teknologi. Smart city idealnya bisa berkembang dengan baik dalam ekosistem masyarakat informasi yang sedang berproses hingga saat ini. Jika dianalogikan smart city adalah sebuah foto, maka kondisi masyarakat informasi adalah bingkainya.
Kedua, masih adanya gap kesenjangan informasi. Ini diakibatkan karena belum meratanya persebaran internet di seluruh wilayah Indonnesia, apalagi dikawasan timur. Hal tersebut pernah disingguh oleh Menkominfo, Rudiantara. Menurut beliau bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pemerataan penyebaran internet di Indonsia, yakni coverage (cakupan), kapasitas, dan affordability (keterjangkauan harga). Lebih lanjut beliau mengatakan masalah cakupan selalu menyoal luasnya wilayah Indonesia secara geografis dan masalah infrakstrukur telekomunikasi yang belum menjangkau seluruh kawasan. Kemudian soal kapasitas tak bisa lepas dari kesenjangan daerah pedesaan dan kota besar. Dan soal affordability juga menyoroti ketimpangan tarif Internet di kawasan Barat dan Timur (CNN Indonesia, 25/9/2015). Persebaran internet yang belum merata bisa berimplikasi terhadap jumlah pengguna internet yang ada. Berikut berikut gambar jumlah pengguna internet berdasarkan propinsi berdasarkan data profil pengguna internet 2014 dari Puskakom UI dan APJII:
Gambar
4. Jumlah Pengguna Internet berdasarkan wilayah di Indonesia (APJII, 2015:20)
|
Selain beberapa tantangan, smart city juga mempunyai prospek yang cukup baik untuk masa yang akan datang. Kendati, persebaran internet belum merata, namun kita juga tidak menutup mata bahwa secara akumulasi pengguna dan penetrasi internet Indonesia terus mengalami kenaikan layaknya tangga. Berikut data jumlah dan penetrasi pengguna internet di Indonesia dari tahun 2005-2014:
Gambar
5. Jumlah dan Penetrasi Pengguna Internet Di Indonesia Tahun 2005-2014 (APJII, 2015:22)
|
Selanjutnya prospek yang paling menarik adalah tumbuhnya inovasi-inovasi baru di masyarakat ketika Open Data sudah dilakukan. Lebih menarik lagi apabila konsep smart city telah tehubung antar satu kota dengan kota lainnya. Informasi dan pengetahuan menjadi basis dalam perkembangan ekonomi secara makro, terlebih saat ini pemerintah sedang menggalakan ekonomi kreatif berintikan pada kreativitas yang didukung oleh banyaknya informasi dan memadukannya dengan seni dan teknologi. Dalam Wikipedia, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai era baru ekonomi setelah ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.
Penutup
Dalam persepektif Manuel Castells, konsep smart city adalah salah satu produk dari majunya perkembangan teknologi informasi. Cloud computing dan big data dalam smart city merupakan pemanfaatan dari kemajuan teknologi informasi yang lebih canggih dan memudahkan. Konsep smart city adalah gambaran masyarakat jaringan yang saling terhubung atau terintegrasi antar satu dengan yang lainya. Aliran data, informasi dan pengetahuan adalah yang menjadi basis utamanya dalam pengambilan keputusan. Namun demikian, beberapa tantangan dalam smart city meliputi kebijakan, adanya kesenjangan informasi, dan perbedaan kultural antar kota yang ada di Indonesia. Disisi lain, prospek dari smart city juga tidak kalah menarik apabila dilihat dari akumulasi jumlah pengguna dan penetrasi internet dari tahun ketahun yang terus meningkat, banyaknya pengguna yang memanfaatkan akses internet melalui perangkat nirkabel, dan tumbuhnya inovasi-inovasi baru dari kebijakan Open Data. Kondisi tersebut akan mendukung ekonomi kreatif berintikan pada kreativitas yang didukung oleh banyaknya informasi dan memadukannya dengan seni dan teknologi. Smart city idealnya bisa berkembang dengan baik dalam ekosistem masyarakat informasi yang sedang berproses hingga saat ini. Jika dianalogikan smart city adalah sebuah foto, maka kondisi masyarakat informasi adalah bingkainya.
Daftar Pustaka
Castells, Manuel.1996. The Rise of The
Network Society (The Information Age: Economy, Society, and Culture).
London:Willey-Blackwell
Indah Wahyuni, Hermin. 2013. Kebijakan Media Baru di Indonesia.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Puskakom
UI, APJII.2015. Profil Pengguna Internet
Indonesia 2014. Jakarta: APJII
Sugihartati, Rahma.2014.Perkembangan Masyarakat Informasi &
Teori Sosial Kontemporer.Jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Supangkat, Suhono Harso.2015.Pengenalan & Pengembangan Smart City.Bandung:
LPIK ITB & SII Smart City
Initiatives Forum
Buletin:
Supangkat, Suhono Harso. “Smart City Indonesia” Buletin Smart City
ID Vol.1, Juli 2015
_____________________.
“Smart City Pendukung Pembangunan
Berkelanjutan” Buletin Smart City ID Vol.2, Agustus 2015
Situs:
Hadimuljono,
Basuki. 2015. Urbanisasi, dari Masalah
Jadi Peluang. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/11/05/18000061/Urbanisasi.dari.Masalah.Jadi.Peluang. Diakses 7
Januari 2016 pukul 10.30 WB
Ardisasmita,
Adam. 2015. Langkah Bandung dalam
Mengimplementasikan Smart City. Terarsip dalam https://id.techinasia.com/bandung-smart-city/. Diakses 7
Januari 2016 pukul 10.45 WIB
Nur
Fajrina, Hani.2015. Tiga Tantangan
Utama Pemerataan Internet di Indonesia. Terarsip dalam http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150925141413-213-80931/tiga-tantangan-utama-pemerataan-internet-di-indonesia/. Diakses pada 7
Januari 2016 pukul 10.00 WIB.
Supangkat,
Suhono Harso. Layanan TIK dan Pembangunan
Smart City.Terarsip dalam http://isd-indonesia.org/wp-content/uploads/2014/10/Dialogue-Series-IV-%E2%80%9CLayanan-TIK-dan-Pembangunan-Smart-City%E2%80%9D-by-Suhono-Supangkat-Institut-Teknologi-Bandung.pdf. Diakses pada 7
Januari 2016 pukul 11.00 WIB.
Wikipedia,
Ekonomi kreatif: https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_kreatif, diakses pada 9
Januari 2016 pukul 14.00 WIB.
Wulan,
R.Teja. 2015. Kota-kota Indonesia Menuju
Konsep 'Smart City'. Terarsip dalam http://www.voaindonesia.com/content/kota-kota-indonesia-menuju-konsep-smart-city/3024412.html. Diakses pada 7
Januari 2016 pukul 10.00 WIB.
Parded,
E Doan.2015. Suami-Istri
Menikah 17 Tahun Cerai Akibat Perselingkuhan via Facebook. Terarsip dalam http://kaltim.tribunnews.com/2015/08/05/suami-istri-menikah-17-tahun-cerai-akibat-perselingkuhan-via-facebook?page=5. Diakses
pada 10 April 2016 pukul 10.00 WIB.
Samosir,
Hanna Azarya.2015. Dampak
Keranjingan Jejaring Sosial terhadap Pernikahan. http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150513062017-277-52948/dampak-keranjingan-jejaring-sosial-terhadap-pernikahan/. Diakses pada
10 April 2016 pukul 11.15 WIB.
Salam,
Pustakawan Blogger
Posting Komentar untuk "Smart City Dalam Bingkai Dinamika Masyarakat Informasi"