Dekonstruksi, Postmodernisme dan Sistem Metafisika Jacques Derrida

Dokumentasi kuliah kali ini adalah tugas dari Prof. Partini, dosen mata kuliah teori sosial kritis. Saya menyarikan buku tentang pemikiran Jacques Derrida yang terkenal dengan istilah dekonstruksi. Jujur saya membaca tentang pemikiran Derrida ini harus terus berulang-ulang karena hingga sekarang saya masih merasa bingung. Tapi, saya mencoba membuat sari karangan dari dua buku secara beralur. Namun, yang paling banyak saya ambil adalah dari buku Derrida karangan Muhammad Al-Fayyadl terbitan LKIS. Alurnya adalah membuat catatan penting tentang teori dekonstruksi, kemudian saya hubungkan dengan kelahiran Postmodernisme dan tiga alirannya. Idealnya memang harus membahas sejarah Postmodernisme terlebih dahulu. Lebih lanjut, saya kaitkan juga dengan sistem konsep metafisika Jacques Derrida yang terkenal dengan istilah logosentrisme dan kontradiksi internal. Oleh karenanya tulisan sari karangan dari buku ini saya beri judul "Dekonstruksi, Postmodernisme dan Sistem Metafisika Jacques Derrida". Oh iya, untuk profile singkat saya juga mengambil sumber dari Wikipedia. Berikut uraiannya:

Pendahuluan: Sekilas Profil Jacques Derrida 
Jacques Derrida adalah seorang filsuf postmodernisme dari Perancis kelahiran El Biar, Aljazair. Ia lahir pada tanggal 15 Juli 1930 dan meninggal di Perancis pada tanggal 8 Oktober 2004. Filsuf keturunan Yahudi ini pernah mendapatkan gelar doctor honoris causa dari Universitas Cambridge. Ia juga banyak menulis karya-karya penting yang fenomenal. Salah satunya adalah membahas tentang teori dekonstruksi. Pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl, bapak fenomenologi dan Ferdinand de Saussure, bapak linguistik modern dan semiotika.

 Jacques Derrida Jacques Derrida berteman dengan Michael Foucault ketika di École Normale Supérieure (ENS). Foucault adalah seorang filsuf Perancis terkenal, sejarawan ide, teori sosial, ahli bahasa dan kritikus sastra. Buku pertama Jacques Derrida adalah menerjemahkan karya Husserl yang berjudul The Origin of Geometry. Ia juga mengkritik pemikiran Saussure mengenai definisi bahasa tentang logosentrisme dan fonosentrisme di dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology yang diterbitkan pada tahun 1967. Menurut Derrida bahwa kelemahan logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa, dan kelemahan fonosentrisme adalah menomorduakan tulisan karena memprioritaskan ucapan. Selain Of Grammatology, dua buku utama lainya yang ditulis adalah Speech and Phenomena dan Writing and Fifference. Karya Derrida diakui secara internasional dan lintas disiplin sejak tahun 1970-an.

Catatan Penting Teori Dekonstruksi
Mempelajari dan memahami teori dekonstruksi Derrida bukanlah perkara mudah. Hingga detik ini istilah dekonstruksi yang dikemukakan Derrida masih menjadi hal yang kontraversi dan perdebatan diantara para akademisi dan teoritisi. Bahkan satu hal yang menarik, konon kabarnya diantara para pendukungnya, dikatakan bahawa dekonstruksi bukanlah teori biasa yang dengan mudah dipetakan ke dalam sebuah definisi. Dekontruksi cenderung menghindari definisi apa pun sehingga ia sama sekali tidak bisa di definisikan dan terbuka terhadap berbagai penafsiran (Muhammad Al-Fayyadl,2005:8).

Terkait teori dekonstruksi ada beberapa hal yang menjadi catatan penting bagi saya pribadi. Pertama, teori dekonstruksi bukanlah sebuah teori yang memiliki pengertian yang normal, namun teori ini sangat terbuka untuk ditafsirkan mengingat dimensinya yang begitu luas. Hal ini juga dinyatakan pula oleh Derrida sendiri bahwa ia menolak untuk membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu definisi per se.

Kedua, teori dekonstruksi adalah sebuah istilah yang bisa dikatakan bertolak belakang. Dalam artian teori dekonstruksi bersifat antiteori atau antimetode karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah permainan atau parodi. Artinya dekonstruksi adalah hanya bisa dilakukan tatkala diterapkan secara langsung ketika membaca teks dan disitu kita bisa mempermainkannya dalam parodi-parodi. Secara singkat, dekonstruksi adalah sebuah strategi tekstual yang memiliki berabagam makna dan terbuka untuk menafsirkannya. Istilah parodi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai karya sastra atau seni yg dengan sengaja menirukan gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan.

Ketiga, teori dekonstruksi ternyata menjadi perhatian serius bagi sebagian kalangan ilmuwan sendiri. Mengapa demikian? Karena sifatnya yang antiteori dan antimetode, maka menyebabkan banyak kritikan terutama oleh para kaum positivisme. Bahkan dekonstruksi dianggap sebagai intelectual gimmick atau sebuah tipu muslihat intelektual yang dianggap tidak berisi apa-apa karena hanya sebatas permainan kata-kata.

Lahirnya Postmodernisme Dan Alirannya
Diantara ketiga catatan penting diatas khususnya yang paling terakhir, dimana dekonstruksi menjadi perhatian serius oleh sebagaian kaum ilmuwan bahkan hingga menjadi ejekan sinis yang dianggap keracunan virus derridium, yakni sejenis gangguan mental seperti halusinasi, kesintingan, dan delusi. Dalam konteks yang lebih luas, pemikiran Derrida tentang dekonstruksi seharusnya bukanlah suatu hal yang diperdebatkan karena Derrida sendiri seorang filsuf yang hidup di era postmodernisme dimana pemikiran Derrida lahir ketika modernisme dan proyek pencerahan yang diusung para filsuf beraliran humanis sedang mengalami akut dan mendekati titik kehancuran. Dengan modernisme, barat mengalami kemajuan pesat yang ditandai dengan kapitalisme dan individualisme sehingga menjadi satu kekuatan peradaban yang besar. 

Kemajuan tersebut tentu tidak terlepas dari asumsi-asumsi filosofis yang membentuk pandangan dunia dan menjadi pondasi dasar dari seluruh bagunan epistemologisnya. Apa saja asumsi-asumsi tersebut? Misalnya pengetahuan yang senantiasa bersifat objektif, netral, dan bebas nilai. Manusia dianggap sebagai subjek dan alam adalah objek. Menganggap rasio dan akal budi sebagai satu otoritas sumber kebenaran yang tidak tergugat. 

Asumsi-asumsi diatas pada kenyataanya tidak sesuai realitas yang ada. Seringkali justru pengetahuan lahir dari pengalaman yang tidak terduga, ambigu, eksistensial dan dramatik. Proyek pencerahan yang mengusung kebebasan, kemajuan dan emansipasi di era modernisme sebagai narasi besar dengan basis legitimasi berupa rasionalisme, postivisme, materialisme dan humanisme dianggap sudah tidak relevan sehingga lahirlah postmodernisme yang menawarkan perbedaan dan pluralitas serta menolak mereduksi segala hal ke dalam satu hal pengertian atau pola tertentu. 

Secara umum pemikiran postmodernisme terbagi menjadi tiga yaitu pertama, pemikiran yang merevisi paradigma kemodernan dengan merujuk kembali pola-pola pemikrian pra modern misalnya gerakan-garakan spiritual (new age). Kedua, pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dengan menolak tesis-tesis tertentu dari modernisme, namun tidak menolak secara total. Nilai-nilai kemodernan seperti rasionalitas dan kebenran objektif diterima, namun terbuka untuk pluralitas dan kritik. Golongan ini menerima sains, namun menolak kemutlakan kebenaran ilmiah. Ketiga, pemikiran-pemkirian yang masih pentingnya melihat pandangan dunia bahkan metafisika serta seluruh tata nilai kebenaran. Namun demikian, menyadari relativitasnya akibat perbedaan karakter linguistik dan latar belakang sejarah dari masyarakat. Golongan ini menerima kebenaran objektif namun, tetap ketika dipraktekan dalam praksis-sosial historis akan bersifat relatif dan tentu saja memiliki keterbatasan-keterbatasan. Contoh golongan ketiga ini adalah Habermas. Selain itu, Derrida adalah salah satunya. Golongan ketiga ini biasanya bersifat radikal dan sebagian besar terkait dengan literacy studies dari disiplin kebahasaan atau linguistik. Apa yang menjadi istilah kata kunci kepopuleran dari golongan ketiga ini? Yaitu dekonstruksi. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Heidegger dan diperkenalkan secara radikal oleh Derrida. 

Sistem Metafisika Derrida: Logosentrisme
Kontradiksi-kontradiksi dalam modernisme akan dipandang berbeda oleh para filsuf postmodernisme. Misalnya Foucault, melihat sebuah kekurangan dari modernisme yang dianalisis dari perspektif sejarah. Lain Foucault lain Derrida. Dengan konsep yang berbeda, Derrida melihat kekurangan-kekurangan modernisme melalui sistem metafisika yaitu ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan (KBBI). Ada dua strategi yang diterapkan. 

Pertama, Derrida membaca banyak tulisan para filsuf barat sejak era pencerahan. Dari hasil bacaanya, Derrida menyimpulkan bahwa filsuf barat sepenuhnya masih di dasarkan pada logosentrisme atau disebut sebagai metafisika kehadiran. Logosentrime adalah sistem metafisik yang mengandaikan logos atau kebenaran transendental  dibalik segala hal yang tampak dipermukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal (Muhammad Al-Fayyadl, 2005:16). Dalam teks-teks filsafat, kehadiran logos direpresentasikan oleh pengarang yang memiliki otoritas terhadap makna tulisan yang hendak disampaikannya.

Kedua, dengan cara membaca banyak teks-teks filsafat barat dan membandingkannya antara satu teks dengan teks lainya. Ini dilakukan untuk mencari “kontradiksi internal” yang ada di balik logika dalam teks tersebut. Apa yang dilakukan Derrida adalah sebuah metode pembacaan teks dengan model “dekonstruksi”. Salah satu contoh yang dianggapnya representatif adalah pada karya Husserl yang berjudul The Origin of Geometry. Derrida membuat catatan kaki pada tulisan tersebut dengan mengutak-atik logika teks yang telah terstruktur.

Daftar Pustaka
  • Al-Fayyadl, Muhammad, 2005.Derrida.Yogyakarta: LKIS.
  • Edkins, Jenny, Williams, Nick vaughan.2009.Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Pusat Bahasa Depdiknas.2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Depdiknas
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Jacques_Derrida, diakses pada tanggal 21 Desember 2015.

Komentar