Lunturnya Etika

Saya setuju bila teknologi itu bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi bisa bersifat positif dan satu sisi bisa saja bersifat negatif. Namun demikian, posisi tersebut itu, tentunya tergantung oleh siapa yang memegang kendalinya karena teknologi itu pada dasarnya bersifat pasif. Sementara penggunalah yang lebih bersifat aktif. Kondisi aktif ini bisa mengarah ke arah negatif atau positif. Jika mengarah ke negatif tentunya ini banyak buruknya. Sementara bila mengarah ke positif, maka ada banyak manfaat yang diperolehnya. 

Pemanfaatan teknologi misalnya seperti gawai di dalam dunia pekerjaan seringkali membawa pengaruh yang negatif. Misalkan saja saya sering membayangkan bagaiman jadinya ketika saya sebagai seorang pustakawan melayani pemustaka, namun hanya sibuk mengutak-atik ponsel saja tanpa memperdulikan si pemustaka tersebut. Apa yang dirasakan oleh si pemustaka tersebut? Pastinya akan kecewa. 

Nah, hal demikian tentunya juga terjadi pada semua bidang pekerjaan lain misalnya seperti yang baru saya rasakan kemarin saat seorang dokter hanya fokus ke gawainya tanpa memperdulikan si pasien. Saat itu, saya sedang menuggu antrian pasien lain. Saat pasien di depan saya seorang ibu-ibu memasuki ruangan dan selesai berkonsultasi, saat itulah si ibu tersebut bergumam kepada saya.
"mendingan dokter si pulan, daripada dokter yang ini", gerutu sang ibu kepada saya
"soalnya tuh dokter ngurusin ponselnya mulu. Saya nanya gak dijawab," sambung sang ibu dengan muka tampak kecewa berat.

Awalnya jujur saya tidak percaya sebelum tahu sendiri. Pada saat giliran saya tiba dipanggil dan memasuki ruangan dokter. Disitulah baru saya teringat sang ibu yang menggerutu kepada saya barusan. Ternyata benar, sang dokter begitu sibuknya dengan ponselnya. Saat itu saya hanya diam dan hanya berbicara seperlunya. Saat istri saya bertanya, nyatanya sang dokter tak menjawab. Kejadian itu juga terjadi pasien sebelum saya. Seorang ibu-ibu di depan saya bertanya kepada sang dokter, dengan roman muka ketus, sang dokter itu tak menghiraukan ibu yang bertanya tersebut. 

Akibat ponsel tersebut, etika seorang manusia menjadi luntur. Seorang dokter yang notabene harus menjaga etika saat bekerja, kok bisa-bisanya masih sempat mengutak-atik ponselnya tanpa menghiraukan si pasien. Saya jadi berpikir, apakah dulu dokter tersebut tidak mengikuti mata kuliah etika profesi. Saya tahu, tidak semua dokter seperti itu. Pastinya masih banyak dokter-dokter lain yang lebih profesional. Tapi kok, rasa-rasanya tak bisakah sang dokter tersebut sejenak melihat muka sang pasien untuk saling berkomunikasi. Tak bisakah dang dokter tersebut memberikan sedikit waktu untuk memberikan informasi penting selama proses berkonsultasi. Entahlah, toh semua kembali kepada masing-masing individu. Sejatinya siapa pun itu, tentunya kita ingin sesama manusia itu saling memanusiakan, bukan menganggap benda mati yang tak bernyawa. 

Kejadian tersebut tentunya menjadi bahan introspeksi buat saya sendiri. Jangan sampai saya melakukan seperti sang dokter tersebut. Semoga saya tidak lupa..

RSUD TS, 17072018

Salam,
Pustakawan Blogger

Komentar