Masih Ada Waktu, Jika Ingin Hidupkan Konsep Utama Perpustakaan Yang Hilang Itu

Sejatinya jujur, saya ingin adem ayem, tapi gara-gara tulisan mas pur, akhirnya pengen juga nimbrung berkomentar, hahaha. Tapi komentar kali ini via blog sendiri saja, gak langsung di blognya mas pur.

Tulisan yang ingin saya komentari mas pur: Inilah konsep utama perpustakaan yang telah lama hilang.

Pertama, hal yang saya tangkap terkait judul tulisan diatas adalah konsep import bukan sepenuhnya kepustakawanan dari Indonesia. Apa artinya ini? Istilah-istilah yang baru seperti learning common, makerspace, co-working space adalah dianggap sebuah konsep dari luar negeri yang dianggap berhasil. Akhirnya diambil, adopsi untuk perpustakaan perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Lalu seperti apa kira-kira konsep utama perpustakaan Indonesia yang asli itu? Apakah konsep itu sebenarnya sudah ada di perpustakaan kita sehari-hari dan kita tidak sadar lalu apakah istilah tersebut merupakan istilah yang diperbaharui saja? Misalkan makerspace yang ada di perpustakaan desa yang menunjukan proses bagaimana membuat kerajinan dari barang bekas menjadi layak pakai. Dari dulu, hal-hal ini sejatinya sudah ada.

Kedua, mas pur mengkritisi dengan konsep-konsep tersebut, apalagi dalam hal ini praktisi pustakawanlah yang harus seolah-olah dipaksa untuk mengimplementasikannya. Sementara para pendidik jurusan terkait hanya memberikan contoh, harus begini, harus begitu, bukan menjadi contoh! Saya jadi teringat kata-kata bijak KH. Zainuddin MZ: "Banyak orang memberikan contoh, tapi sedikit orang yang menjadi contoh. Memberi contoh itu mudah, tapi menjadi contoh itu yang sulit" 

Ketiga, menurut mas pur konsep pengembangan idealnya bukan hanya pada fisik semata. Itu pasti mudah selama mempunyai anggaran. Akan tetapi, yang terpenting adalah pada ide dan gagasan asli pustakawan itu sendiri harus ditonjolkan. Kompetensi pustakawan harus digali. Disinilah letak pentingnya isi lebih penting daripada kulit (cover). Studi banding pustakawan ke perpustakaan-perpustakaan yang WOW secara langsung dianggap suatu hal yang kurang tepat. Terlebih mungkin lebih banyak niat jalan-jalannya daripada benar-benar mengorek isinya. Jika ingin main ditataran isi, maka tidak harus datang langsung, cukup lakukan komunikasi dengan pustakawan yang ada dibelakangnya. Gali ide dan gagasannya, lakukan diskusi bersama. Sekarang itu era serba mudah, komunikasi bisa dilakukan dengan banyak pilihan media yang tidak harus datang dan bertemu secara fisik.

Buku Batik Indramayu
Lokal Konten
Keempat, terkait konsep yang perpustakaan yang sesungguhnya itu seperti apa? Pendapat mas pur yang saya tangkap, yakni lagi-lagi disini adalah peran pustakawan yang ditonjolkan, yakni kemampuan pustakawan dalam hal ini dicontohkan melakukan penerjemahan karya. Tapi saya tidak tahu persis yang dimaksudkan mas pur tentang ini karena peran penerjemahan ini dikaitkan dengan konten buku dari karya Dhe Ziaudin Sardar dan Kang Agus Rifai.

Jujur, kedua buku itu saya belum membacanya. Tapi, setidaknya sedikit ada gambaran dengan artikel yang saya baca ini: Pustakawan, Profesi Penting dalam Peradaban Islam. Saya hanya mereka-reka, kemungkinan besar pustakawan yang melakukan penerjemahan dan penyalinan itu adalah pustakawan masa-masa peradaban Islam, dimana ada pustakawan yang melakukan itu. Oleh karenanya, menyambung dengan itu, tiba-tiba saya berpikir ke koleksi-koleksi kesultanan Cirebon yang berbahasa jawa tempo dulu, jika pustakawan menerjemahkan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Indonesia, saya yakin ini menjadi terobosan luar biasa. Penerjemahan dari bahasa internasional sudahlah biasa karena banyak tools-nya, akan tetapi untuk bahasa lokal piye? Tentu ini berlaku untuk pustakawan di perpustakaan umum kab/kota dan inilah tantangannya.

Benarkah Sudah Hilang? 

Empat point diatas jika saya simpulkan adalah bermuara pada kompetensi pustakawan yang harus digali karena itulah substansinya. Layanan yang melibatkan kompetensi pustakawan adalah vital jika dibandingkan dengan pernak-pernik lainya. Disini diuji seberapa berkualitaskah seorang pustakawan berperan? Perubahan yang terjadi dari dulu hingga sekarang, pustakawan harus pandai-pandai mempraktikan ide dan kreatifitasnya. Oleh karena itu di perpustakaan diperlukan seorang crackers, pemecah kode-kode perubahan (baca: Diperlukan Seorang Crackers Dalam Dunia Perpustakaan)

Sementara itu, satu hal yang ingin saya soroti adalah konsep perpustakaan yang dahulu hilang, jika tebakan saya benar, terkait masa-masa emas peradaban Islam, dimana peran pustakawan disana begitu berharga karena apa yang dilakukannya misalnya penerjemahan dan penyalinan karya, maka benarkah itu sudah hilang? Sebelumnya mohon maaf, karena saya dulu lama bekerja di perpustakaan umum, maka tulisan dari mas pur saya lihat dari kacamata pustakawan yang bekerja di perpustakaan umum.

Menurut hemat saya, dalam tataran global, iya  bisa dikatakan hilang. Tapi, dalam lingkup lokal, kondisi ini apabila saya bawa ke perpustakaan umum, maka sejatinya tidaklah hilang. Malah sebenarnya tidak ada. Coba tengok ke perpustakaan-perpustakaan umum di daerah, adakah pustakawan yang melakukan layanan penerjemahan sejak perpustakaan itu berdiri? Saya ambil satu kasus di Cirebon dimana banyak koleksi naskah tua jaman kesultanan, apa peran pustakawan disana? Sebagai penerjemakah, penyalin? TIDAK. Justru ketika ada yang meneliti dan mencari koleksi naskah kuno, maka mereka telah mempunyai penerjemah sendiri.

Pustakawan yang bekerja di perpustakaan umum sejatinya memiliki peluang karena adanya lokal konten yang dengan karakteristik sendiri. Tapi masalahnya adalah adakah yang mau bergelut dengan hal itu? Disatu sisi, melakukan hal-hal yang substansial itu tidak mudah, perlu tenaga, pikiran, waktu, dan kemauan yang kuat. Hal itu belum ditambah masalah perut, pustakawan lebih banyak memilih nyambi sana-sini daripada melakukan hal itu yang menurut mereka belum tentu mendatangkan fulus. Ini realitas kehidupan, tak bisa hanya dilihat dari sisi idealisme semata, namun harus dilihat dari sosok dibalik kehidupan yang mereka jalani sehari-hari.

Masih Ada Waktu!

Untuk meningkatakan citra positif pustakawan, saya sepakat bahwa pustakawan harus menyentuh yang bersifat substansial. Sejak dulu saya berprinsip, pustakawan harus berkarya, tidak melulu terkait dunia perpustakaan tempatnya bekerja. Akan tetapi, dalam ranah yang lebih luas. Boleh jadi pustakawan di tempat institusinya bekerja seperti tidak dianggap karena dianaktirikan. Tapi, kita tidak boleh menyerah. Semua itu bagian dari perjuangan. Mari sambut semua perubahan dengan tangan terbuka.

Buat para pustakawan di perpustakaan umum, masih ada waktu apabila ingin mengimplementasikan konsep utama perpustakaan yang hilang itu, seperti yang diungkapkan mas pur. Sebagai apa? Penerjemahkah, penyalin? Bukan! Penulis lokal konten di daerahmu sendiri.

Lantas bagaimana dengan saya yang sekarang tidak lagi di perpustakaan umum lagi. Hingga saat ini saya masih mencoba untuk menyenangi tema terkait "radiasi" karena itulah yang sedang masih saya cari untuk modal membumikan peran saya yang hingga saat ini masih seperti eceng gondok.

Salam,
#PustakawanBloggerIndonesia

Komentar