Penjual Kerupuk Itu Menyadarkanku
Sore hari yang macet dan bising masih menyusuri jalan Cirendeu, sayup-sayup terdengar suara azan maghrib berkumandang. Seperti biasanya banyak mobil dan motor memadati jalanan layaknya orang berjalan kaki pelan. Bunyi klakson saling bersahutan dengan suara azan maghrib yang sedang dilantunkan. Orang-orang tampaknya ingin cepat sampai di rumah, beristirahat berkumpul bersama keluarga. Tak terkecuali dengan rombongan jemputan bus dari para pegawai ketenaganukliran dengan tujuan akhir nan jauh disana: Parung.
Ya, saya juga berada dalam rombongan bus para pegawai ketenaganukliran itu. Mobil bus yang kutumpangi selalu berhenti manakala sudah melintas di depan Masjid Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Biasanya pukul 18.30 saya turun di depan Masjid Fatullah untuk kemudian melanjutkan transportasi berikutnya yakni menaiki sepeda motor yang saya titipkan di parkiran Masjid yang lumayan luas itu.
Namun, sebelum melanjutkan pulang dengan sepeda motor, seperti biasa saya akan sholat maghrib terlebih dahulu. Selesai solat maghrib maka saya akan menuju tempat parkir. Di saat mengambil motor itulah saya melihat penjual kerupuk yang sangat bersemangat menjajakan dagangannya walau hanya dengan mengandalkan suara dan bunyi telapak kaki dari setiap orang yang melewati di depannya. Dengan bantuan tongkat penjual kerupuk itu terus menjajakan dagangannya tanpa henti.
Tepat disamping penjual kerupuk, ada seorang ibu-ibu masih muda dan sehat. Tidak kalah dengan sang penjual kerupuk itu, sang ibu sambil duduk menengadahkan kepalanya keatas disertai kedua tangannya yang memegang rantang. Lantas setiap orang yang melawatinya, ia sodorkan rantang itu dengan suara yang pelan dan roman muka memelas.
Sambil kunyalakan sepeda motorku, saya mulai beranjak meninggalkan sang penjual kerupuk dan sang ibu yang membawa rantang tadi. Dalam perjalanan pulang menuju Pamulang, pikiranku masih tertuju seorang penjual kerupuk yang tetap bersemangat itu. Betapa hati saya malu kepada-NYA. Malu juga kepada sang penjual kerupuk yang membawa tongkat itu. Malu dengan kelakuanku yang seringkali tidak bersyukur. Malu karena rasa malasku. Malu karena saya seringkali seperti sang ibu pembawa rantang itu. Malu dan malu karena ada makhluk Allah yang tidak bisa melihat namun tetap menjalani hidup dengan penuh semangat, sabar, dan tampak di raut mukanya yang ikhlas.
Penjual kerupuk itu selalu saya lihat setiap pulang kerja. Saat melihatnya ia memberikan semangat tersendiri kepadaku untuk selalu terus berusaha dalam hidup. Saat mengingatnya ia mencambuk rasa malasku. Membakar pikiran dan hatiku agar selalu tetap bersyukur. Sang penjual kerupuk yang ada di depan Masjid UIN itu jelas berbeda dengan sang ibu pembawa rantang. Sungguh Allah telah menyadarkanku untuk senantiasa belajar rasa syukur yang sebenarnya. Belajar syukur kepada penjual kerupuk yang buta itu bukan kepada ibu muda nan sehat pembawa rantang. Sungguh penjual kerupuk itu menyadarkanku. Semoga terus bisa bersyukur.....
Di Depan Masjid UIN Syarif Hidayatullah Inilah Saya Belajar Rasa Syukur Dari Sang Penjual Kerupuk |
Namun, sebelum melanjutkan pulang dengan sepeda motor, seperti biasa saya akan sholat maghrib terlebih dahulu. Selesai solat maghrib maka saya akan menuju tempat parkir. Di saat mengambil motor itulah saya melihat penjual kerupuk yang sangat bersemangat menjajakan dagangannya walau hanya dengan mengandalkan suara dan bunyi telapak kaki dari setiap orang yang melewati di depannya. Dengan bantuan tongkat penjual kerupuk itu terus menjajakan dagangannya tanpa henti.
Tepat disamping penjual kerupuk, ada seorang ibu-ibu masih muda dan sehat. Tidak kalah dengan sang penjual kerupuk itu, sang ibu sambil duduk menengadahkan kepalanya keatas disertai kedua tangannya yang memegang rantang. Lantas setiap orang yang melawatinya, ia sodorkan rantang itu dengan suara yang pelan dan roman muka memelas.
Sambil kunyalakan sepeda motorku, saya mulai beranjak meninggalkan sang penjual kerupuk dan sang ibu yang membawa rantang tadi. Dalam perjalanan pulang menuju Pamulang, pikiranku masih tertuju seorang penjual kerupuk yang tetap bersemangat itu. Betapa hati saya malu kepada-NYA. Malu juga kepada sang penjual kerupuk yang membawa tongkat itu. Malu dengan kelakuanku yang seringkali tidak bersyukur. Malu karena rasa malasku. Malu karena saya seringkali seperti sang ibu pembawa rantang itu. Malu dan malu karena ada makhluk Allah yang tidak bisa melihat namun tetap menjalani hidup dengan penuh semangat, sabar, dan tampak di raut mukanya yang ikhlas.
Penjual kerupuk itu selalu saya lihat setiap pulang kerja. Saat melihatnya ia memberikan semangat tersendiri kepadaku untuk selalu terus berusaha dalam hidup. Saat mengingatnya ia mencambuk rasa malasku. Membakar pikiran dan hatiku agar selalu tetap bersyukur. Sang penjual kerupuk yang ada di depan Masjid UIN itu jelas berbeda dengan sang ibu pembawa rantang. Sungguh Allah telah menyadarkanku untuk senantiasa belajar rasa syukur yang sebenarnya. Belajar syukur kepada penjual kerupuk yang buta itu bukan kepada ibu muda nan sehat pembawa rantang. Sungguh penjual kerupuk itu menyadarkanku. Semoga terus bisa bersyukur.....
Pamulang, Desember 2013
Posting Komentar untuk " Penjual Kerupuk Itu Menyadarkanku "