Kumis
(Sekedar senam otak untuk menulis, ditengah gempuran AI yang serba instan).
Entah kenapa, sejak kecil, saya dulu paling takut dengan orang yang berkumis tebal. Orang sering menyebutnya kumis 'jebug'. Pokoknya, dalam imajinasi saya kalau melihat wajah orang berkumis itu kesannya galak, angker, tak bersahabat.
Semua imajinasi itu terpatahkan karena seseorang yang super baik. Kebetulan orang baik ini berkumis. Baiknya itu benar-benar super baik.
Dalam imajinasi saya, luntur sudah wajah orang berkumis itu selalu terkesan galak. Anehnya, dari kecil dan punckanya SMA, saya jadi terinspirasi terkait kumis. Saya berangan-angan, kelak ketika besar nanti, saya ingin berkumis dan brewokan. Apa alasannya? Entahlah. Pokoknya merasa gagah. Laki? harus berbulu. Itu...
Saya tidak ingin berwajah mulus seperti remaja Korea Selatan, apalagi yang dioplas. Pokoknya ingin berkumis dan brewokan saja.
Ada tiga orang yang menjadi inspirasi sedari kecil hingga SMA Ketika melihat orang berkumis. Pertama, poster Iwan Fals yang tertempel di rumah nenek saya. Jangan salah! Bukan nenek saya yang ngefans dengan Iwan Fals, tapi Om saya yang senang banget. Saking senangnya poster besar segede gaban ditempel di kamar dindingnya. Dari situlah saya melihat orang berkumis gagah, apalagi sembari menenteng gitar.
Kedua, guru SMA pelajaran Tata Negara. Namanya Pak Toto. Orangnya berkumis, badan tegap, tinggi perawakannya. Pokoknya gagah banget. Beliau juga guru silat Merpati Putih. Kalau sudah mengajar, sembari merokok dalam kelas, maka kesan angkernya makin terasa.
Ketiga, orang baik yang berkumis. Siapa orang baik berkumis ini? Beliau adalah sosok orang yang mengubah mindsetku terkait orang berkumis. Saya memanggilnya Kang Waryam. Orangnya ganteng seperti artis Rano Karno, tinggi, kekar badannya. Sedari kecil hingga besar, saya termasuk yang merasa dekat dengan beliau kendati bertemu hanya setahun sekali.
Kang Waryam sering datang ke rumah Babeh Tasyana. Kadang kalau lagi panenan, beliau sering membantu mengangkut gabah ke gudang.
Kalau bertemu di Limpas atau datang ke rumah, sering kali saya juga dikasih jajan. Namanya anak kecil pasti senangnya bukan main. Banyak kenangan yang terlintas. Misalnya saat berjibaku di Gunung Emas Pongkor Bogor, mengantarkan beliau ke teman-teman kerjanya sewaktu pulang kampung dari Arab, makan bakso bersama, menengok ketika saya dirawat sakit karena over kopi dan rokok saat sedang menulis buku (saat menengok inilah pertemuan terakhirnya), dan masih banyak kenangan lainnya.
Satu hal yang saya sangat menyesal hingga sekarang, ketika beliau sakit, saya belum sempat menjenguknya. Padahal, saya sudah ada niat untuk menengoknya. Hingga meninggal, saya pun belum sempat untuk mengantar ke peristirahatan terakhir. Saya merasa bersalah. Benar-benar bersalah. Waktu dan jarak yang membuat saya belum sempat untuk bertandang. Kendati belum sempat datang, lantunan bait doa, tetap saya panjatkan untuk saudara-saudara yang telah mendahului, termasuk orang baik berkumis ini.
Semasa hidup, Kang Waryam jarang bercerita terkait anak-anaknya, tapi saya sering mendengar bahwa anak-anaknya tinggal di daerah Cidempet. Untuk menebus rasa bersalah, maka saya coba main mengunjungi rumah anak-anaknya tinggal. Itulah pertama kali saya bertemu dengan anak-anaknya secara langsung. Ya, pertama kali. Senang rasanya bisa berjumpa dengan generasi penerus dari Kang Waryam ini. Kerennya, menurut kabar dari seseorang, konon si bungsu juga melanjutkan sekolah di pesantren dan kuliah di Polindra. Luar biasa, pastinya karena ada sosok orang tua yang mendukung pentingnya pendidikan.
Oh iya, akhirnya apa saya pernah memelihara kumis dan brewok? Ya pernah. Tapi, sekarang saya hanya manjangin jenggot. Sesuai yang tersirat dalam hadist. “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot” (HR. Bukhari no. 5893, Muslim no. 259).
Kang Waryam ini memang sudah meninggalkan dunia ini, tetapi kebaikannya akan selalu saya ingat. Selalu. Semoga Allah, Swt. memberikan tempat terbaik untuk beliau. Diterima iman Islamnya, di lapangkan kuburnya, diterima amal baiknya. Aamiin.
Al-fatihah.
Stasiun Gambir, 18 Juli 2025.
Posting Komentar untuk "Kumis"