Sumur dan Perkembangannya

Saya yakin yang pernah tinggal di perkampungan akan tahu tentang sumur. Bagi saya pribadi, sumur merupakan bagian sejarah yang tak terlupakan. Sumur adalah sumber kehidupan bagi keluarga saya. Mulai dari untuk air minum, mandi, memasak, dan mencuci. Oleh karenanya pantaslah sumur adalah sumber rezeki yang diberikan oleh yang maha kuasa.

Dulu, sumur bisa ditemukan dengan mudah di rumah-rumah warga. Biasanya letaknya ada dibelakang rumah. Walaupun ada juga yang dibuat didepan, tetapi paling banyak adalah dibelakang. Seperti sumur nenek saya memang letaknya ada didepan. Tapi, belakangan sumurnya ditutup dengan papan agar bisa dilewati. Letaknya di depan bukan tanpa alasan. Hal tersebut karena area belakang adalah lapangan untuk menjemur padi.
Sumur
Sumur Dibelakang Rumah Emak Masih Berfungsi Hingga Sekarang
Air sumur berasal dari air tanah. Biasanya dingin dan bening. Namun demikian, untuk kondisi airnya itu tergantung dengan kualtas tanah dari tiap-tiap rumah warga. Ada juga yang airnya keruh, berbau seperti sumur nenek saya. Itu terjadi karena selokan depan rumah persis di pinggir sumur selalu menggenang dan banyak sampah daun dan plastik. Akibatnya berpengaruh pada air sumur nenek. Saya sering meminum air rebusan dari sumur nenek, rasanya benar-benar aneh. Orang Indramayu menyebutnya "anta".

Menyoal sumur, dua hal yang paling saya ingat adalah pertama, ketika musim kemarau (ketiga) tiba, biasanya sumur-sumur warga akan kering. Beruntung, sumur dibelakang rumah saya tak pernah kekeringan. Biasanya ada beberapa tetangga yang datang untuk mengambil air sumur. Alhamdulillah, orang tua setidaknya banyak pahala dari itu. Kedua, di  musim kemarau biasanya saya akan menimba air pakai ember dari sumur menuju kolah (bak mandi). Saya lakukan biasanya rutin setiap sore. Dari itu, alhamdulillah saya bisa berolah raga, bermandikan keringat.

Ngomong-ngomong tentang sumur, idealnya semakin dalam sumur, maka airnya akan banyak. Namun, justru faktanya adalah ada beberapa tetangga yang sumurnya dalam, tetapi airnya kering kerontang ketika musim kemarau tiba. Anehnya, lain halnya dengan sumur dibelakang rumah saya ini sendiri tidaklah dalam, tetapi airnya tidak pernah kering. Menurut orang tua saya, dulunya memang karena dibelakang rumah itu adalah sumber air sebelum dibangun sumur. Ya, semacam balong (kubangan) alami.

Salah satu sumber air sumur yang tidak kalah di kampung saya adalah daerah Kesisih. Daerah ini terkenal dengan sumber airnya yang bagus. Oleh karenanya, tidak heran banyak warga yang berbondong-bondong mengambil air sumur di Kesesih dengan jerigen ketika musim kemarau tiba. Dari mulai menggunakan sepeda, motor roda tiga hingga mobil bak kecil.

Perkembangan Sumur

Jika dahulu, mengambil air sumur itu dengan menggunakan timba, lalu saya bawa dua ember (sisi kanan dan sisi kiri), namun dalam perjalananya ternyata cara itu mulai ditinggalkan. Sejak mulai ada pipa atau paralon besar, maka dibuatlah paralon itu dari sumur hingga menuju bak mandi. Sehingga lebih praktis. Saya tidak membawa air, melainkan hanya mengalirkan air tersebut di paralonnya yang ujungnya dibuat dengan semen melingkar besar. Untuk kegiatan menimba dalam hal ini masih dilakukan. Namun demikian, ada juga sumur tetangga yang sudah menggunakan katrol.

Air sumur yang digunakan untuk diminum, biasanya sebelum direbus akan ditampung dulu di sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat. Sementara untuk kegitan mencuci bisa dilakukan disekitar sumur. Tapi, jangan coba-coba kegiatan mencuci ini berdekatan dengan sumur karena air sabun itu akan membuat air sumur lama kelamaan menjadi bau. Orang dikampung saya menyebutnya bau banger, bacin, dan sejenisnya. Oleh karena itu, sebaiknya jika kegiatan mencuci berdekatan dengan sumur, maka alangkah baiknya dibuat aliran air mengalir terlebih dahulu ke pembuangan akhir. Emak saya sendiri untuk kegiatan mencuci benar-benar dilakukan jauh dari sumur. Oleh karenanya kualitas air sumur tetap terjaga.

Selanjutnya pola mengambil air dengan timba baik secara manual atau dengan katrol tersebut mulai ditinggalkan sejak ada mesin pompa air. Dari sini, semua aktivitas gerak mengambil air sumur ke bak mandi tidak lagi dilakukan. Cukup nyalakan saklar untuk menyalakan mesin pompa air. Seketika air bisa keluar.

Tahun silih berganti, belakangan mengambil air sumur dengan menggunkan pompa air mulai ditinggalkan juga. Kini mulai menggunakan PDAM (perusahaan daerah air minum) yang konon katanya perusahaan daerah milik pemerintah daerah. Warga cukup mendaftar ke PDAM. Lalu nanti dialirkan melalui pipa utama dari PDAM menuju bak mandi dan kran-kran yang diperlukan ke setiap rumah warga. Aliran pipa dari PDAM ini akan dilengkapi dengan meteran air sebagai pencatat air. Nantinya meteran air ini sebagai hitungan untuk pembayaran dari setiap pemanfaatan air oleh setiap warga yang menggunakan jasa PDAM ini. Entah, informasi pertamanya dari mana tiba-tiba PDAM dalam jangka waktu yang tidak lama langsung tersebar. Berbondong-bondong banyak warga yang mendaftar. Pada mulanya banyak yang senang karena para warga merasa lebih praktis. Tidak lagi disibukan misalnya dengan mesin pompa air rusak. Tiap bulan hanya tinggal membayar tagihan yang konon katanya dianggap murah.

Lambat laun penggunaan PDAM ini ternyata banyak masalah juga. Keluhan-keluhan dari para warga mulai banyak bermunculan. Mulai dari pipa bocor, tanggapan complain lama, tagihan membengkak dengan laporan yang tidak jelas, air mengalir kecil, air keruh dan bau hingga masalah teknis lainya.

Kehadiran PDAM jelas sekali pada akhirnya menggeser sumur sebagai sumber rezeki yang diberikan Allah. Warga lebih memilih membeli air yang berasal dari PDAM untuk mandi, mencuci hingga minum. Bahkan untuk minumpun, saat ini warga lebih memilih air mineral kemasan daripada merebus sendiri. Dispenser dan air mineral kini sudah masuk ke rumah-rumah warga. Kendi, thermos, ketel kini sudah tak terpakai lagi. Air kini sudah menjelma menjadi produk yang bisa DIBISNISKAN, tak peduli walaupun itu di desa.

Setahu saya, sumur di tempat dimana saya dilahirkan, kini sudah banyak yang tidak dimanfaatkan lagi. Tapi, bisa jadi di beberapa daerah masih banyak yang mengandalakan sumur sebagai sumber air yang sangat penting. Sebagai contoh adalah ibu kost saya yang ada di Jogja.

Suatu hari, saya iseng, bertanya pada anak saya yang berumur 8 tahun menyoal sumur. Anak saya menjawab," itu kan yang zumi zumi, kumpul-kumpul." Rupanya anak saya mengetahui sumur itu terkait air zam-zam saja, lagu dulu yang dinyanyikan saat masih di taman bermain. Generasi anak zaman sekarang yang tinggal dikampung, bisa jadi tidak tahu lagi dengan sumur yang biasa ada dibelakang rumah dan menjadi sumber rezeki tempo dulu. Mereka mungkin lebih tahu PDAM dibandingkan dengan sumur. Bisa jadi loh!

Salam,
Pustakawan Blogger

Komentar