3 Kemungkinan Ini Jika Dosen Ilmu Perpustakaan Bermarkas di Perpustakaan

Ide menulis yang paling enak itu, sebenarnya dari tulisan yang dibaca dari blog teman. Kenapa? Karena saya tinggal melanjutkan atau mengomentarinya (he2).

Seperti yang ingin saya tulis malam ini masih di KRL, biasa gatel liat tulisan mas pur (he2). Kali ini saya ingin berandai-andai saja, anggap saja sebuah lelucon biar gak spaneng.
Baca disiniDi manakah sebaiknya beskem dosen (ilmu) perpustakaan?
Tulisan mas pur hari ini terkait idealnya dosen ilmu perpustakaan itu punya markas yang harusnya ada dimana sih? Kira-kira seperti itulah yang saya maknai. Nah, menyoal itu, saya jadi berandai-andai, kalau dosen ilmu perpustakaan markasnya ada di perpustakaan, maka yang terjadi kemungkinan adalah 3 hal berikut ini:

Pertama, menemukan KONSEP kepustakawanan Indonesia yang sebenarnya. Kenapa? Karena sang dosen akan melihat realitas sebenarnya di dunia perpustakaan itu. Mulai dari pemustakanya, cara kerja praktisi pustakawan, komunikasi dengan pemustaka, dan lain sebagainya. Pendek kata disana akan menemukan fenomena sosial dan budaya yang sesungguhnya. Boleh saja, teori-teori diambil dr luar, itu sudah lumrah, ketika sang dosen melakukan penelitian dan dipadukan dengan terjun secara langsung, dalam arti sehari-harinya ada disitu, maka akan jadi nilai tambah tersendiri. Akhirnya teori-teori bisa berkembang sesuai dengan konteks sosial budaya negara kita. Menemukan teori memang berat karena bersifat universal . Baiklah, gak harus teori dulu, ya minimal menemukan model.
Baca Juga: Masih Ada Waktu, Jika Ingin Hidupkan Konsep Utama Perpustakaan Yang Hilang Itu
Kedua, ketika sang dosen perpustakaan bermarkas dan sehari-harinya ada di perpustakaan, maka yang terjadi adalah bisa menjembatani GAP yang terjadi selama ini antara sang dosen yang mengajar dengan para praktisi pustakawan. Setidaknya sang dosen kini tahu, bahwa apa yang diajarkannya ternyata jauh dari realitas sesungguhnya. Akhirnya sifat hati-hati akan diutamakan. Sang dosen tahu permasalahannya, sang mahasiswapun ketika lulus juga sudah siap seandainya diterima kerja karena apa yang diajarkan dosen sesuai dengan kondisi nyata. Setidaknya mahasiswa tidak terkejut dan sigap. Segala sesuatu yang sudah dipersiapkan dengan matang bukannya lebih baik bukan?

Ketiga, menjadi CONTOH bukan lagi memberi contoh. Dosen yang menjadi contoh itu bisa jadi nilai tambah ketimbang hanya memberi contoh. Levelnya setingkat lebih tinggi daripada sekedar memberi contoh. Ketika dosen mempraktikan cara menghadapi pemustaka dengan semboyan 3S, setidaknya mahasiswa yang diajarkan tahu secara langsung. Apalagi kalau sehari-hari sang dosen berada di perpustakaan, maka akan semakin mahir dan teruji. Mahasiswapun yakin, percaya diri, menyerap ilmunya sacara langsung.

3 kemungkinan diatas apabila terjadi, dalam arti ada dosen ilmu perpustakaan (yang memang fungsional dosen) yang bermarkas diperpustakaan, maka saya yakin dunia kepustakawanan Indonesia dikit demi sedikit bisa moncor. Bagaimana menurut teman-teman?

Sudah dulu ah, KRL sudah sampe Sudimara. Lain waktu saya sambung lagi.

Stasiun Sudimara

Salam,
#pustakawanbloggerindonesia

Komentar